Thursday, March 3, 2022

Apakah KH. Ahmad Dahlan adalah ulama Asy'ariyah?

 sumber: https://www.facebook.com/vhira.10/posts/2494769830657935

Apakah KH. Ahmad Dahlan adalah ulama Asy'ariyah?
Dari kitab Akoid doel iman, terdapat titik terang tentang kecenderungan akidah KH. Ahmad Dahlan adalah akidah Asya'irah, yang jika benar berarti KH. Ahmad Dahlan adalah ulama Asy'ariyah, tidak berbeda dengan akidah yang dianut oleh guru-gurunya yang juga merupakan akidah mayoritas para ulama lainnya di seluruh dunia, termasuk di mekah tempat beliau menimba ilmu dan khususnya di nusantara pada masa beliau, bahkan sampai sekarang mayoritas ulama di Indonesia adalah Asy'ariyah.
Terdapat bahasan Sifat 50 dalam kitab akoid doel iman yang merupakan ciri khas teologi Asy'ari yang memang memungkinkan sekali bahwa KH. Ahmad Dahlan memang seorang Asy'ari, meskipun ini masih perlu diteliti lebih jauh lagi. Sifat 50 yang umumnya berkaitan dengan Allah lebih dikenal sebagai sifat 20 yang wajib ada pada Allah, yang biasa diringkas menjadi sifat 13 tanpa sifat ma'nawiyah sebagaimana yang ada dalam HPT bab Iman.
Rincian akidah dari sifat 50 sebagaimana sudah maklum termasuk sebagaimana yang ada dalam gambar meliputi:
20 sifat wajib Allah
20 sifat mustahil Allah
1 sifat jaiz Allah
4 sifat wajib Rasul
4 sifat mustahil Rasul
1 sifat jaiz Rasul
------------
Sifat wajib Allah terdiri dari 1 sifat Nafsiyah, 5 sifat Salbiyah, 7 sifat Ma'ani dan 7 sifat Ma'nawiyah
------------
Kitab akoid doel iman -+berkonsep seperti kitab Jawahirul Kalamiyah yang merupakan salah satu kitab dasar tentang akidah yang dikemas dalam bentuk soal jawab/tanya jawab.
 



 

Tuesday, May 16, 2017

Kisah Ahmad Dahlan dan Koreksi Waktu Subuh Muhammadiyah

https://tirto.id/kisah-ahmad-dahlan-dan-koreksi-waktu-subuh-muhammadiyah-cotw

12 Mei, 2017 dibaca normal 3 menit
Dengan pendekatan ilmu falak (astronomi) Himpunan Ilmuwan Muhammadiyah mengoreksi waktu dimulainya salat subuh di Indonesia. Waktu subuh seharusnya lebih lambat 20-30 menit dari yang digunakan sekarang.
tirto.id - Penolakan sekaligus reaksi keras Kanjeng Penghulu Kamaluddiningrat dari Keraton Yogyakarta benar-benar membuat kecewa KH. Ahmad Dahlan. Sebagai ahli falak dan hisab—paling berpengaruh di Nusantara—ide-ide revolusioner Kiai Dahlan dianggap sesat karena banyak yang bertentangan dengan ketetapan Penghulu Masjid pada saat itu. Kisah yang kemudian ditulis M. Nasruddin Anshorly dalam Matahari Pembaruan: Rekam Jejak KH. Ahmad Dahlan (2010: 99-101)

Tidak hanya ditolak, Penghulu Masjid bahkan sampai marah besar. Kiai Dahlan dianggap kelewatan karena memiliki ide untuk mengubah arah kiblat salat di Masjid Kauman Yogyakarta pada tahun 1897 Masehi. Pada saat itu, Masjid Agung Kauman Yogyakarta memiliki arah kiblat ke arah Barat lurus, tidak tepat menuju arah Masjidil Haram di Mekah dengan sudut 24 derajat Barat Laut seperti yang kita kenal saat ini.

Haji Muhammad Syoedja’, salah satu murid Kiai Dahlan, dalam Cerita tentang Kiyai Haji Ahmad Dahlan (TT: 34-35) yang ditulis ulang oleh cucunya dr. H. Mu’tasimbillah al-Ghozi bahkan mengungkapkan bahwa pada saat itu malah ada beberapa masjid yang menghadap ke arah Timur Laut.

Kasus ini tidak hanya terjadi di Masjid Kauman Yogyakarta, tetapi juga Masjid di Demak, Masjid di Pasar Gedhe, sampai Masjid Ampel di Surabaya juga menghadap ke arah Barat. Saat itu persoalan arah kiblat memang bukan jadi perhatian bagi umat muslim. Pembangunan masjid pada era-era itu lebih ditekankan untuk tata kota dan kerapian arsitektur daerah masing-masing.

Sebagai ulama yang telah menimba ilmu bertahun-tahun di tanah Arab, Kiai Dahlan tentu merasa perlu untuk meluruskan hal ini. Masalahnya, arah kiblat yang keliru telanjur sudah diikuti cukup lama. Pada akhirnya ide untuk mengubah arah—meski cuma sedikit—sontak menjadi isu sensitif yang memicu ketegangan.

Kekecewaan Kiai Dahlan semakin diperparah setelah langgar miliknya yang dirubuhkan paksa oleh massa yang menganggap ide ini sesat. Pada akhirnya, Kiai Dahlan diam-diam bersama istrinya menuju Stasiun Tugu untuk meninggalkan Yogyakarta. Beruntung, Kiai Soleh, kakak iparnya, berhasil membujuk Kiai Dahlan untuk membatalkan niatan tersebut.

Pada tanggal 1 Desember 1911, Kiai Dahlan mendirikan madrasah yang diberi nama Madrasah Ibtidaiyah Diniyah Islamiyah. Madrasah ini menjadi cikal bakal berdirinya Muhammadiyah, satu tahun kemudian pada 18 November 1912.

Koreksi Waktu Salat Subuh dengan Sains

Kisah di atas kemudian menjadi contoh dan gambaran bagaimana cara pandang Muhamadiyah sepeninggal Kiai Ahmad Dahlan memang dikenal dengan pemahaman syariat melalui pendekatan rasional. Muhammadiyah mengedepankan pendekatan sains dan teknologi untuk semakin menciptakan akurasi yang presisi dalam terapan syariat di Indonesia. Pelurusan soal arah kiblat yang dilakukan Kiai Dahlan hanyalah satu bentuk nyata dari pelurusan dengan pendekatan sains.

Hal inilah yang kemudian kembali diperlihatkan saat Prof. Tono Saksono, Ketua Himpunan Ilmuwan Muhammadiyah, mengungkapkan hasil riset soal waktu salat subuh. “Ini hasil riset kami dengan alat Sky Quality Meter (SQM), pengukur kecemerlangan benda langit,” kata Profesor Tono pada Seminar Evaluasi Awal Waktu Salat Subuh Menurut Sains dan Fikih di Jakarta, Selasa (9/5).

Ketua Islamic Sciene Research Network (ISRN) Universitas Muhamadiyah Prof. Dr. Hamka (UHAMKA) ini mengungkapkan bahwa waktu salat subuh di Indonesia yang selama ini digunakan terlalu cepat 20 sampai 30 menit dari yang seharusnya.

Dengan pemahaman ilmu falak dan alat bernama SQM, hasil penelitian menunjukkan bahwa posisi matahari di saat fajar terbit harusnya berada pada sudut depresi 11-15 derajat. Setara dengan 44 -60 menit sebelum matahari terbit. Sudut depresi dalam ilmu matematika merupakan sudut yang terbentuk antara garis datar dengan posisi pengamatan ke arah bawah. Posisi di mana matahari berada di bawah garis horizontal bumi.

Perlu diketahui, periode waktu salat subuh dalam ilmu fikih adalah ketika cahaya matahari sudah tampak di ufuk Timur namun wujudnya belum muncul. Artinya waktu salat subuh akan berakhir ketika matahari sudah tampak wujudnya, sekalipun itu hanya seperempat atau setengah dari bagiannya.

Selama ini perhitungan salat subuh di daerah Indonesia masih menggunakan standar 20 derajat di bawah ufuk Timur, atau setara dengan 80 menit sebelum matahari terbit. Hal yang merujuk pada para pendapat beberapa ulama Melayu pada masa lalu.

Menurut Prof. Dr. Thomas Djamaluddin, Kepala Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional (LAPAN), posisi sudut depresi 20 derajat adalah perhitungan yang menggunakan standar yang sama digunakan di Mesir (19,5 derajat) dan Arab Saudi (18 derajat). Mengingat bahwa posisi kedua negara berada di sebelah utara dari garis khatulistiwa, maka seharusnya Indonesia memiliki standar sendiri karena berada tepat di titik nol garis lintang Bumi.

“Tidak ada satupun indikasi yang menunjukkan bahwa sinar fajar sebagai tanda awal subuh telah muncul saat matahari berada pada sudut depresi 20 derajat,” kata Profesor Tono.

Hasil riset ini memang masih dibutuhkan pengujian lebih lanjut, baik dari sisi ilmu falak maupun pendekatan fikih. Namun, jika hasil ini disepakati oleh organisasi Islam lainnya dan disetujui pemerintah, maka waktu subuh akan semakin sempit bagi wilayah Indonesia. Jika tadinya waktu subuh berada di kisaran durasi 80 menit, dengan menggunakan hasil penelitian ini maka akan jadi sekitar 44-60 menit. Di sisi lain, hal ini juga berpengaruh pada masa berhenti santap sahur yang lebih panjang sekitar 20-30 menit dari waktu sebelumnya.

Dibandingkan jamaah Nahdliyin yang lebih mengedepankan pengalaman empirik dalam menghukumi sesuatu, jamaah Muhammadiyah memang cenderung lebih mengedepankan rasionalitas. Hal yang akan semakin jelas terlihat saat penentuan waktu masuk atau akhir bulan Ramadan. Jamaah Muhammadiyah lebih percaya dengan perhitungan ilmu falak dengan metode hisab, dan jamaah Nahdliyin lebih percaya dengan pengalaman langsung melihat hilal (bulan baru).

Meskipun begitu, Nahdlatul Ulama melalui Wakil Ketua Lembaga Falakiyah Nahdlatul Ulama (LFNU) Sirril Wafa mengemukakan siap untuk membuka peluang koreksi waktu salat subuh. Wafa bahkan mengusulkan perlunya riset kerja sama antara Muhammadiyah, NU, MUI, dan LAPAN untuk menindaklanjuti hasil riset ini demi kebaikan umat muslim di Indonesia.

Baca juga artikel terkait SEJARAH INDONESIA atau tulisan menarik lainnya Ahmad Khadafi

(tirto.id - daf/)

Sunday, February 1, 2015

Winai Dahlan: Advancing halal science

Winai Dahlan


Winai Dahlan paused and smiled as he saw the next slide of his presentation at the Halal Science Center, Chulalongkorn University, Bangkok.

His presentation was about the history and role of the Halal Center, which he initiated in 1995, but he had inserted another slide that was close to his heart.

The projector displayed the poster of Sang Pencerah (The Enlightener), a 2010 Indonesian box office movie centering on the life of Ahmad Dahlan, the founder of Muhammadiyah, the second largest Islamic organization in Indonesia.

“They are my grandfather and grandmother, Ahmad Dahlan and Nyai [Mrs] Ahmad Dahlan,” he said, pointing to the man bearing blangkon (Javanese headdress) and a veiled woman on the poster.

“This has no relation to the Halal Center. I just want you to know that we come from the same root,” he said before a handful of Indonesian journalists over the weekend.

The center is widely recognized as the world’s first research institution specializing in halal products.

He is a Thai national but is ethnically Javanese.  His father, Irfan Dahlan, the fourth child of Ahmad Dahlan, was born in Kauman, Yogyakarta.

Irfan went to Lahore in Punjab, Pakistan, to study Islam in the 1920s. After completing his studies in 1933, he could not return to Indonesia as the Indian Ocean had become a battlefield during World War II.

Irfan settled in Thailand and married the daughter of an imam at the Jawa Mosque in Bangkok.

“My mother is also Javanese but was born in Thailand. My great grandfather built that mosque,” Winai explained.

The Jawa Mosque is located in the heart of a Javanese community in Sathorn district, Bangkok. The community was founded by a group of Javanese craftsmen who helped to build the palaces of King Chulalongkorn in the 1890s.

With the strong Islamic background, it is not surprising that Winai devotes his skills and abilities for the sake of Muslim societies, particularly those in Thailand.

“In Muslim-majority countries, you have no doubt about the halal status of products,” he said.

“But in non-Muslim countries, we don’t feel safe because we’re afraid that the food is contaminated haram [forbidden] ingredients,” said Winai, who obtained his doctorate’s degree in applied medical biology from Universite Libre de Bruxelles, Belgium.

There are approximately 7.5 million Thai Muslims in the country, representing about 12 percent of the total 62.5 million Thai population.

The presence of the halal center dates back to 1995, when he initiated a halal science laboratory at the faculty of allied health science at the university.

With the support of ASEAN, the laboratory was expanded into a Halal Science Training Center for ASEAN country members in 1998.

In 2006, the center was assigned to be a secretary to the Halal Products and Services Working Group of a subregional cooperation: the Indonesia-Malaysia-Thailand Growth Triangle (IMT-GT).

Soon after receiving financial aid from the Thailand government, Winai established two branches of the halal center in Pattani, one of the Thailand’s southernmost provinces, and Chiang Mai, a culturally-significant city in northern Thailand.

Winai said the center employed 20 scientists and 20 staff, with 90 percent of them Muslim.

“Ulema councils, including the MUI [Indonesian Ulema Council], prefer to have Muslim scientists overseeing the certification of halal products, because they have to be witnesses for the ulemas [who issue halal certificates] in kiamat [the judgment day],” Winai explained.

The center detects pork, or other non-halal mixtures, in food products through several methods, including DNA sampling and a flame ionization detector (FID) technique.

The center’s scientists have also combined their technologies to create a more efficient halal certification process. They have developed specialized information and communications technology on the production of halal products.

The system enables ulemas to supervise the product — from the raw materials and manufacturing process until delivery to stores — with one click from their computer tablets.

The center is currently developing a barcode system for halal products.

“By scanning the barcode through hand phones, people will get full information about the product, including the name of the ulema that issues the product’s halal certificate,” he said.

In 18 years of service, the Halal Center has received numerous awards, including the Best Innovations 2012 from the World Halal Research Summit in Malaysia and the 2009 Recognition Award from the Islamic Da’wah Council of the Philippines.

For his role as the center’s founding director, Winai received The King’s Service Medal, The Dusdee Mala in 2009 for his achievements in science.

The Royal Islamic Strategic Studies Centre listed Winai as one of “the world’s 500 most influential Muslims” for three consecutive years.

Winai and his research team are expected to play more significant role in the cooperation between Thailand and Indonesia — the latter being the world’s most populous Muslim-majority country — in the coming years.

Last year, Indonesia’s President Susilo Bambang Yudhoyono and Thailand’s Prime Minister Yingluck Sinawatra included the halal food industry as a top priority in their cooperation agenda.

Winai is a man of forward vision. He expected that his advanced halal science would not only benefit Muslims in the region, but also the world community.

“What we desire is halal tayyib food. Halal means lawful for mankind to be consumed or utilized, while tayyib refers to good, safe, healthy and hygienic products. This means that halal is not only for Muslims. Halal is good for all,” Winai said.

See more at: http://www.thejakartapost.com/news/2013/03/08/winai-dahlan-advancing-halal-science.html


Cucu KH Ahmad Dahlan, Pendiri The Halal Science Center Thailand



Jakarta - Di balik pendirian The Halal Science Center Thailand, ternyata ada pria berdarah Indonesia di belakangnya. Dia adalah Dr Winai Dahlan. Siapa dia? Ilmuwan alumnus Universite Libre de Bruxxelles, Belgia ini adalah cucu KH Ahmad Dahlan, pendiri Muhammadiyah.

Winai Dahlan yang berdarah 100 persen Indonesia ini lahir dan besar di Thailand. Kedua orangtuanya asli dari Indonesia. Kedua orangtua Winai telah menetap di Bangkok, Thailand sejak 1930-an untuk berdakwah.

Besar di Thailand, Winai yang rendah hati ini menempuh pendidikan yang baik. Bahkan, dia kemudian mendapat gelar doktor di bidang Biologi Medikal Terapan dari Universite Libre de Bruxxelles, Belgia dengan predikat magna cum laude. Kini Winai menjadi peneliti dan pengajar di Faculty of Allied Health Sciences pada Chulalongkorn University, salah satu universitas tertua di Thailand.

Sebagai cucu pendiri organisasi Islam terbesar kedua di Indonesia dan juga sesuai dengan keilmuan yang dimilikinya, Winai sangat serius dalam meneliti produk makanan dan minuman halal. Kehalalan produk makanan dan minuman yang akan dikonsumsi merupakan hal yang sangat penting bagi umat Islam.

Pada 1994, Winai mengembangkan teknik analisa mengenai halal food dengan metode-metode yang dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah. Inisiatif mulia tersebut disambut baik oleh Chulalongkorn University yang pada tahun 2004 dengan mendirikan The Halal Science Center, Chulalongkorn University (HSC-CU) dengan dukungan Pemerintah Kerajaan Thailand. Pusat ini merupakan salah satu badan penelitian pertama di dunia dengan spesialisasi bidang sains halal food. Tujuan pendiriannya adalah untuk membantu Komite Islam Thailand dalam melaksanakan misinya, terutama dalam sebagai Halal Certification Agency.

Dalam melakukan tugasnya, HSC-CU membangun jaringan dan kerjasama dengan laboratorium sains halal lain di dunia untuk kepentingan umat dan ilmu pengetahuan. Selain itu, HSC-CU telah berperan aktif memimpin Working Group on Halal Products and Services (HAPAS) dalam kerangka Indonesia-Malaysia-Thailand Growth Triangle (IMT-GT).

Pendirian HSC-CU di Thailand ini sangat menarik. Sebab, HSC-CU didirikan di negara Thailand yang dihuni tak lebih dari 3 juta muslim atau hanya sekitar 4,6% dari 66 juta total penduduk Thailand.

Kiprah Dr. Winai Dahlan dalam dunia sains dan penelitian halal food sangat menonjol ketika pada tahun 1994 beliau mengembangkan teknik analisa untuk mendeteksi tingkat kontaminasi pada makanan halal di laboratorium Faculty of Allied Health Sciences pada Chulalongkorn University, salah satu universitas tertua di Thailand.

Sebagai tokoh sentral dalam pendirian HSC-CU, Winai diangkat sebagai Direktur HSC-CU tersebut sejak tahun 2008 hingga kini. Berdasarkan dedikasi dan karya penelitiannya yang sangat berguna tidak hanya bagi umat Islam tetapi juga bagi Kerajaan Thailand dan dunia ilmu pengetahuan pada umumnya, Dr. Winai sebagai seorang ilmuwan dan Pegawai Negeri Sipil (PNS) Thailand telah dianugerahi Dusdee Mala Medal, medali tertinggi dari Raja Thailand.

Beberapa hari lalu, sesuai keterangan persnya yang diterima detikcom, Jumat (15/6/2012), pihak KBRI di Bangkok telah bersilaturahmi dan bertemu Winai. Kesederhanaan dan kerendahan hati Dr Winai ini tampak sangat jelas ketika menerima Tim KBRI Bangkok yang dipimpin oleh Bob Tobing, Kabid Pensosbud KBRI Bangkok di HSC-CU, Bangkok. Pertemuan ini sendiri merupakan bagian dari upaya mensukseskan acara Conggress of Indonesian Diasporas, di Los Angeles, California, 6-8 Juli 2012 mendatang.

Dengan segala keramahtamahannya, Winai bersedia berbagi pengalaman bahwa meskipun kelompok diaspora Indonesia di Thailand terbilang kecil, namun mereka dapat hidup dengan baik di Thailand, tanpa ada diskriminasi. Darah Indonesia yang mengalir dalam tubuhnya, juga tidak membuat Dr. Winai lupa akan akar budaya dan asal usulnya.

"Beliau sangat berterima kasih dan berbangga menjadi bagian dari diaspora Indonesia," tulis KBRI Bangkok dalam rilisnya.

Di akhir pertemuan dengan KBRI Bangkok, Winai Dahlan memanjatkan doa untuk kesejahteraan bangsa Indonesia dan seluruh masyarakat Indonesia di mana pun berada.


Sumber:

Ensiklopedia Muhammadiyah Satukan Keluarga Ahmad Dahlan

Ensiklopedia Muhammadiyah Satukan Keluarga Ahmad Dahlan

Selasa, 16/04/2013 - 16:13

YOGYAKARTA, (PRLM).- Muhammadiyah meluncurkan ensiklopedia organisasi Islam yang lahir pada 1912. Ensiklopedia tersebut menjadi momentum menyatukan keluarga pendiri organisasi Muhammadiyah, KH Ahmad Dahlan.

Dalam soft launcing ensiklopedia tersebut, di Asri Medical Center Yogyakarta, Selasa (16/4), puluhan keturunan almarhum KH Ahmad Dahlan ikut berkumpul di gedung tersebut, sebanyak 23 di antaranya keturunan yang menetap di Thailand.

Berdasarkan dokumen, KH Ahmad Dahlan memiliki beberapa istri, yaitu Siti Walidah, Nyai Abdullah, Nyai Rum, Nyai Aisyah Cianjur, Nyai Yasin Pakualam Yogyakarta. Maka keturunan almarhum tersebar di berbagai daerah di tanah air hingga ke luar negeri, di antaranya di Thailand.

Keturunan KH Ahmad Dahlan di Thailand dari keturunan Irfan Dahlan, putra keempat almarhum. Keturunan Irfan Dahlan, seorang di antaranya Dr Winay Dahlan, pendiri dan direktur the Halal Science Center Chulalongkorn University dan kepala The Lipid and Fat Science Research pada International Graduate Program Chair in Food and Nutrition.

Winay Dahlan menyatakan terjadi keterputusan komunikasi dan hubungan keturunan KH Ahmad Dahlan, terutama keturunan yang di luar negeri, sebelum ada gagasan penulisan ensiklopedia Muhammadiyah

Menurut dia pembukuan ensiklopedia Muhamamdiyah membuka jalan untuk merajut keturunan-keturunan KH Ahmad Dahlan. Dia didampingi 23 cucu dan cicit almarhum, mengibaratkan kembali ke akar sejarah hidup keluarga dan organisasi Muhamamdiyah.

"Kami bersama 23 keluarga KH Ahmad Dahlan datang ke Yogyakarta, Indonesia, seperti kembali ke akar sejarah. Dari sini pendiri Muhammadiyah lahir dan melahirkan keturunannya, dan ke sini kami kembali ke akar sejarah," ujar Winay Dahlan.

Ensiklopedia Muhammadiyah, kata ketua penyusun Dr. Mukti Fajar (Lembaga Pengembangan Penelitian, Pendidikan Masyarakat (LP3M) Universitas Muhammadiyah Yogyakarta), sebagai momentum dan babad komtemporer merekam sejarah Muhammadiyah.

Dia mengklaim ensiklopedia setebal 900 halaman sebagai kumpulan sejarah terlengkap dari buku-buku sejenis yang ditulis berbagai pihak. Karena itu dia menjamin bisa menjadi rujukan keilmuan karena penulisan dari berbagai sudut pandang sejarah, sosiologi, antropologi, politik, sosial, agama dan budaya.

Pimpinan editor penulisan ensiklopedia Dr Phil Ahmad Noorma Permata menyatakan konten ensiklopedia menggambarkan kekayaan sejarah dan sukses sejarah organisasi Muhammadiyah dari masa ke masa. (A-84/A-147)***


Sumber: http://www.pikiran-rakyat.com/node/231300

Winai Dahlan paused and smiled as he saw the next slide of his presentation at the Halal Science Center, Chulalongkorn University, Bangkok.

His presentation was about the history and role of the Halal Center, which he initiated in 1995, but he had inserted another slide that was close to his heart.

The projector displayed the poster of Sang Pencerah (The Enlightener), a 2010 Indonesian box office movie centering on the life of Ahmad Dahlan, the founder of Muhammadiyah, the second largest Islamic organization in Indonesia.

“They are my grandfather and grandmother, Ahmad Dahlan and Nyai [Mrs] Ahmad Dahlan,” he said, pointing to the man bearing blangkon (Javanese headdress) and a veiled woman on the poster.

“This has no relation to the Halal Center. I just want you to know that we come from the same root,” he said before a handful of Indonesian journalists over the weekend.

The center is widely recognized as the world’s first research institution specializing in halal products.

He is a Thai national but is ethnically Javanese.  His father, Irfan Dahlan, the fourth child of Ahmad Dahlan, was born in Kauman, Yogyakarta.

Irfan went to Lahore in Punjab, Pakistan, to study Islam in the 1920s. After completing his studies in 1933, he could not return to Indonesia as the Indian Ocean had become a battlefield during World War II.

Irfan settled in Thailand and married the daughter of an imam at the Jawa Mosque in Bangkok.

“My mother is also Javanese but was born in Thailand. My great grandfather built that mosque,” Winai explained.

The Jawa Mosque is located in the heart of a Javanese community in Sathorn district, Bangkok. The community was founded by a group of Javanese craftsmen who helped to build the palaces of King Chulalongkorn in the 1890s.

With the strong Islamic background, it is not surprising that Winai devotes his skills and abilities for the sake of Muslim societies, particularly those in Thailand.

“In Muslim-majority countries, you have no doubt about the halal status of products,” he said.

“But in non-Muslim countries, we don’t feel safe because we’re afraid that the food is contaminated haram [forbidden] ingredients,” said Winai, who obtained his doctorate’s degree in applied medical biology from Universite Libre de Bruxelles, Belgium.

There are approximately 7.5 million Thai Muslims in the country, representing about 12 percent of the total 62.5 million Thai population.

The presence of the halal center dates back to 1995, when he initiated a halal science laboratory at the faculty of allied health science at the university.

With the support of ASEAN, the laboratory was expanded into a Halal Science Training Center for ASEAN country members in 1998.

In 2006, the center was assigned to be a secretary to the Halal Products and Services Working Group of a subregional cooperation: the Indonesia-Malaysia-Thailand Growth Triangle (IMT-GT).

Soon after receiving financial aid from the Thailand government, Winai established two branches of the halal center in Pattani, one of the Thailand’s southernmost provinces, and Chiang Mai, a culturally-significant city in northern Thailand.

Winai said the center employed 20 scientists and 20 staff, with 90 percent of them Muslim.

“Ulema councils, including the MUI [Indonesian Ulema Council], prefer to have Muslim scientists overseeing the certification of halal products, because they have to be witnesses for the ulemas [who issue halal certificates] in kiamat [the judgment day],” Winai explained.

The center detects pork, or other non-halal mixtures, in food products through several methods, including DNA sampling and a flame ionization detector (FID) technique.

The center’s scientists have also combined their technologies to create a more efficient halal certification process. They have developed specialized information and communications technology on the production of halal products.

The system enables ulemas to supervise the product — from the raw materials and manufacturing process until delivery to stores — with one click from their computer tablets.

The center is currently developing a barcode system for halal products.

“By scanning the barcode through hand phones, people will get full information about the product, including the name of the ulema that issues the product’s halal certificate,” he said.

In 18 years of service, the Halal Center has received numerous awards, including the Best Innovations 2012 from the World Halal Research Summit in Malaysia and the 2009 Recognition Award from the Islamic Da’wah Council of the Philippines.

For his role as the center’s founding director, Winai received The King’s Service Medal, The Dusdee Mala in 2009 for his achievements in science.

The Royal Islamic Strategic Studies Centre listed Winai as one of “the world’s 500 most influential Muslims” for three consecutive years.

Winai and his research team are expected to play more significant role in the cooperation between Thailand and Indonesia — the latter being the world’s most populous Muslim-majority country — in the coming years.

Last year, Indonesia’s President Susilo Bambang Yudhoyono and Thailand’s Prime Minister Yingluck Sinawatra included the halal food industry as a top priority in their cooperation agenda.

Winai is a man of forward vision. He expected that his advanced halal science would not only benefit Muslims in the region, but also the world community.

“What we desire is halal tayyib food. Halal means lawful for mankind to be consumed or utilized, while tayyib refers to good, safe, healthy and hygienic products. This means that halal is not only for Muslims. Halal is good for all,” Winai said. - See more at: http://www.thejakartapost.com/news/2013/03/08/winai-dahlan-advancing-halal-science.html#sthash.aU23wE5C.dpuf

Winai Dahlan Cucu Ahmad Dahlan dari Thailand Berkunjung ke Yogyakarta



Winai Dahlan di acara soft launching Ensiklopedi Muhammadiyah


Cucu KH. Ahmad Dahlan, Prof. Dr. Winai Dahlan, kembali berkunjung ke kampung halaman orang tua dan kakeknya, Yogyakarta. Kunjungannya kali ini ia lakukan dalam rangka mempelajari dan mengetahui lebih dalam mengenai akar dan sejarah keluarganya. Hal ini dianggap penting oleh Prof Winai karena kakeknya merupakan seorang pendiri organisasi masyarakat terbesar di Indonesia, yaitu Muhammadiyah.

Prof. Winai Dahlan mengawali kunjungannya dengan mendatangai Universitas Muhammadiyah Yogyakarta (UMY), Senin (15//4). Dalam kunjungannya ini ia mengenalkan 23 orang yang datang bersamanya dari Thailand. Dari 23 orang tersebut, 10 orang diantaranya adalah cicit KH. Ahmad Dahlan, dan 2 orang canggah (anak dari cicit). Kunjungan dari keluarga Prof. Winai ini disambut langsung oleh Rektor UMY Prof. Dr. Bambang Cipto. M.A, dan Wakil Rektor I UMY Dr. Ir. Gunawan Budiyanto, MP di ruang Rektorat UMY.

Selepas berkunjung ke UMY, Prof. Winai beserta rombongan juga menghadiri acara Soft Launching Ensiklopedi Muhammadiyah di gedung Asri Medical Center (AMC) Kampus Terpadu UMY, pada keesokan harinya yakni Selasa (16/4). Dalam testimoninya cucu KH. Ahmad Dahlan ini menceritakan bahwa dirinya adalah anak dari Irfan Dahlan yang merupakan anak KH. Ahmad Dahlan dengan Siti Walidah, atau yang dikenal dengan sebutan Nyai Dahlan, seorang Pahlawan Nasional dan pendiri pegerakan Aisyiyah.

Direktur Halal Science Center, Chulalongkorn University, Bangkok -Thailand ini juga merasa senang dengan diluncurkannya Ensiklopedi Muhammadiyah tersebut. Bahkan dari ensiklopedi tersebut, ia mengatakan bisa belajar banyak mengenai akar keluarganya. “Ini adalah buku yang komprehensif mengenai Muhammadiyah. Buku ini juga yang bisa membuat saya mengetahui akar keluarga saya,” paparnya.

“Saya datang ke Jogja juga untuk mengenali kembali keluarga yang hilang. Karena ada seorang ilmuan di Thailand yang mengatakan bahwa saya adalah cucu seorang tokoh besar di Indonesia. Oleh karena itulah, saya datang ke sini,” ungkap Prof. Winai. Ia juga masih mengingat kata-kata yang diucapkan oleh ayahnya, Irfan Dahlan, ketika masih hidup. “Sejauh-jauhnya orang Muhammadiyah itu pergi, pada akhirnya akan kembali pada Muhammadiyah juga,” kenangnya.

Untuk mewujudkan apa yang dikatakan oleh ayahnya inilah, Prof. Winai kemudian mengadakan kerjasama dengan perguruan tinggi – perguruan tinggi Muhammadiyah di Indonesia, seperti UMY dan UM Malang. “Kami, keluarga Muhammadiyah di Thailand juga berharap bisa membantu warga Muhammadiyah di sini. Agar kami juga dapat berbagi ilmu pada sesama,” pungkasnya.

Sumber: http://www.umy.ac.id/winai-dahlan-pelajari-akar-keluarganya.html

Sejarah Awal Muhammadiyah Yang Terlupakan

http://pustakamuhibbin.blogspot.com/2013/01/sejarah-awal-muhammadiyah-yang.html



Perkumpulan Muhammadiyah didirikan pada tanggal 18 November 1912 dan baru mendapat persetujuan dari Gubernur Jenderal Belanda di Jakarta pada tanggal 22 Agustus 1914. Sayyid Abdullah bin Alwi Alattas seorang staf Jamiat Kheir sangat berperan dalam usaha Ahmad Dahlan menghadapi kegiatan Missi dan Zending di Jawa ini, ia memberikan bantuan keuangan untuk berdirinya perkumpulan Muhammadiyah.

Memang pada awalnya perkumpulan ini didirikan sebagai reaksi terhadap kondisi umat Islam di Hindia Belanda terutama di Jawa ketika itu yang dinilai tidak mampu menghadapi tantangan zaman karena lemah dalam berbagai bidang kehidupan. Menurut Hamka, ada tiga faktor yang melemahkan umat Islam, yang dinilai Ahmad Dahlan agak memprihatinkan, yaitu; keterbelakangan atau kebodohan, kemiskinan dan kondisi pendidikan Islam yang sangat kuno, sehingga tidak mampu mengantisipasi dan bersaing dengan sekolah-sekolah Missi dan Zending.

Menurut Harun Nasution, motivasi lain yang juga menjadi pendorong Ahmad Dahlan, adalah ide-ide Muhammad Abduh dan Rasyid Ridha yang terdapat dalam majalah al-Manar. Majalah ini juga menjadi salah satu bacaan Ahmad Dahlan terutama sekembali dari tanah suci. Ahmad Dahlan memberi perhatian besar pada pengajaran dan pendidikan serta menghindari keterlibatan dalam politik praktis. Tujuan ini sama dengan tujuan didirikannya perkumpulan Jamiat Kheir yang menekankan masalah sosial dan pendidikan. Pada Anggaran Dasar Muhammadiyah tahun 1921 tujuan dari perkumpulan ini, yang terdapat pada artikel 2 dan 3 menekankan kepada pengajaran dan pendidikan.

Setelah delapan tahun berdiri, Muhammadiyah telah tersebar ke seluruh pulau Jawa bahkan seluruh Indonesia. Di tiap-tiap cabang didirikan sekolah-sekolah Muhammadiyah. Sekolah-sekolah tersebut terdiri atas sekolah Diniyyah yang khusus mengajarkan agama dan sekolah-sekolah model pemerintah yang memberikan pengajaran agama dan pengajaran umum. Dilihat dari kurikulum pengajarannya, menampilkan kesan bahwa integrasi materi pengajaran ilmu pengetahuan agama dan ilmu pengetahuan umum, mencerminkan model kurikulum yang telah dirintis oleh perguruan Islam sebelumnya, terutama Jamiat Kheir diterapkan dalam persyarikatan Muhammadiyah.

Pengaruh Jamiat Kheir terhadap Ahmad Dahlan memang terlihat dari pemikirannya tentang pendidikan Islam. Beberapa pernyataan memberi informasi bahwa Ahmad Dahlan menjadi anggota ke-770 Jamiat Kheir. Dalam pengantar buku Thariqah menuju Kebahagiaan, Muhammad al-Bagir menulis:

“Tertarik kepada ide-ide pembaharuan yang timbul dalam Jamiat Kheir ini, dan yang digambarkan sebagai penggerak Dunia Islam Baru yang pertama kali di Indonesia, khususnya di pulau Jawa, banyak tokoh agama dan nasional mencatatkan diri sebagai anggotanya. Diantara mereka inilah terdapat tokoh-tokoh yang kemudian mendirikan perkumpulan-perkumpulan seperti Muhammadiyah, Nahdlatul Ulama, Sarekat Islam dan Budi Utomo. Tercatat sebagai anggota antara lain KH. Ahmad Dahlan sebagai anggota nomor 770. Dari sanalah mereka mengenal bacaan-bacaan kaum reformis Islam yang didatangkan dari luar negeri.”

Menurut Karel A. Steenbrink, K.H.Ahmad Dahlan bukanlah seorang teoritikus dalam bidang agama. Dia lebih bersifat pragmatikus yang sering menekankan semboyan kepada murid-muridnya: ‘Sedikit bicara, banyak bekerja’. Dia juga merupakan salah seorang murid ulama Syafi’i, Syaikh Ahmad Khatib yang terkenal di Mekkah.

Ali Musthafa Ya’kub mengatakan bahwa Ahmad Dahlan melakukan shalat Tarawih dua puluh raka’at, sebagaimana hal tersebut dilakukan oleh KH. Hasyim Asy’ari dan pengikut madzhab Syafi’i di Indonesia.

Bahkan saking dekatnya ikatan emosional KH. Ahmad Dahlan dengan Ahlul Bayt beliau menyarankan bahwa segeralah membentuk organisasi otonom kaum perempuan Muhammadiyah dan nama yang diusulkan beliau adalah Fathimah dengan alasan yang paling pas nama yang disandingkan di sisi Rasul Saw. dalam perjuangan dan dakwah Islam adalah putri tercinta Nabi Saw. Sayyidah Fathimah dan para pengikutnya dinamakan Fathimiyah. Akan tetapi terjadi perdebatan diantara sahabat dan pengurus awal Muhammadiyah mengenai nama Fathimah atau Aisyiyah dan suara terbanyak menginginkan nama Aisyiyah sehingga dinamakanlah organisasi otonom (ortom) itu dengan Aisyiyah.

Sebelum mendirikan Muhammadiyah, KH. Ahmad Dahlan bergabung terlebih dahulu dengan Jamiat Khair, gerakan pembaharu Islam pertama di Indonesia berdiri tahun 1901. Melalui organisasi ini KH.Ahmad Dahlan berkenalan dengan Syeikh Ahmad Syurkati, Sayyid Abdullah Alattas yang sudah lebih dulu mengenal gagasan pembaharuan Islam serta memiliki akses terhadap publikasi gagasan-gagasan pembaruan Islam di Timur Tengah. Inilah yang melatar-belakangi ketertarikan KH.Ahmad Dahlan bergabung dengan Jamiat Khair. Organisasi inilah yang mengilhaminya untuk membangun organisasi Islam berwawasan modern.

Tekanan dari penjajah Belanda berpengaruh besar terhadap pergerakan umat Islam di Nusantara. Untuk mengembalikan pergerakan umat Islam ke jalan yang benar, para pengikut pemikiran Jamaluddin al-Afghani dan Muhammad Abduh membawa gerakan pembaharuan melalui pan islamismenya di Kampung Pekojan. Perjuangan dua tokoh ini bak gayung bersambut dan dilaksanakan oleh pejuang Islam tanah air yang kemudian melahirkan sebuah organisasi Islam di Pekojan pada tahun 1901. Organisasi ini diberi nama Jamiat Khair. Didirikan oleh Sayyid Ali Shahab dan Sayyid Idrus Shahab. Organisasi ini tidak bergerak di bidang politik tetapi menitikberatkan pada semangat pembaruan melalui lembaga pendidikan modern.

Meski membangun basis perjuangan melalui pendidikan, Jamiat Khair tidaklah berbentuk sekolah agama melainkan sekolah dasar biasa dengan kurikulum modern. Para siswa tidak melulu diajarkan materi agama tetapi juga materi umum seperti berhitung, sejarah atau ilmu bumi. Rasa nasionalisme mulai dipupuk di organisasi ini. Hal itu terlihat dari penggunaan bahasa Melayu sebagai pengantar dan bukan bahasa Belanda. Selain itu, organisasi ini juga mewajibkan siswanya mempelajari Bahasa Inggris sebagai pengganti Bahasa Belanda. Sedangkan bahasa Arab dipelajari sebagai pengantar untuk materi keislaman. Organisasi ini juga tidak membedakan golongan ataupun status seperti yang dilakukan Belanda. Ini lantaran siswa yang belajar tidak hanya golongan keturunan Arab tetapi juga warga bumiputera.

Jamiat khair juga berperan atas masuknya unsur-unsur modern dalam masyarakat Islam, misalnya keberadaan anggaran dasar, daftar anggota, rapat-rapat berkala dan mendirikan sekolah dengan cara-cara modern. Kelak di kemudian hari organisasi ini menghasilkan tokoh KH. Ahmad Dahlan (pendiri Muhammadiyah) dan HOS Tjokroaminoto (pendiri Syarikat Islam) dan organisasi keIslaman lain di Nusantara.

Wawasan keberagamaan KH.Ahmad Dahlan mengedapankan sikap inklusivitas, pluralitas dan relativitas dalam memandang sebuah pemahaman kebenaran. Kepribadian KH.Ahmad Dahlan ini sangat mewarnai corak penampilan Muhammadiyah pada fase–fase awal.

Dapat kita cermati, bahwa KH.Ahmad Dahlan merupakan orang yang terbuka, respek, toleran, moderat dan serba ingin tahu. Rickes menggambarkan kepribadian KH.Ahmad Dahlan tersebut sebagai berikut: “Dahlan was a kind of Indonesia of the Calvinist ethic, an energetic, militant, intelligent man some forty year of age, obviously with some Arab blood and stricly orthodox but with a trace of torelance”.

Maka tidak mengejutkan bila dalam pidato terakhir bulan Desember 1922, sebelum meninggal dunia, KH. Ahmad Dahlan menyatakan bahwa problem utama mengapa umat Islam lemah dan sulit bekerjasama ialah karena setiap orang, pemimpin dan kelompok, merasa paling benar sendiri, dan menganggap segala yang datang dari orang lain, apalagi yang memusuhi, selalu salah, buruk dan jahat. Pesan pidato KH.Ahmad Dahlan tersebut diabadikan Charles Kurzman (2002) di bawah judul “The Unity of Human Life”

Setelah KH.Ahmad Dahlan wafat pada usia 54 tahun di Yogyakarta, 23 Februari 1923 dan dimakamkan di Karangkajen, Yogyakarta, salah satu pemimpin Muhammadiyah selanjutnya adalah H. Mas Mansur, atas idenya Muhammadiyah mendirikan Majlis Tarjih pada tahun 1927, sehingga dengan berdirinya Majlis Tarjih, gerak langkah Muhammadiyah dalam menimbang Hukum Agama tidak lagi bertaklid kepada satu madzhab dan lebih jelasnya bahwa Muhammadiyah tidak bermadzhab Syafi’i.

KH. Ahmad Dahlan banyak membaca buku-buku dan majalah-majalah agama dan umum, banyak bergaul dengan berbagai kalangan, selama perjalanannya, terutama dengan orang-orang Arab, sehingga ide-idenya bertambah dan berkembang terus. Salah satu kitab yang digemarinya adalah kitab al-Qashaid al-Atthasiyah karangan Sayyid Abdullah Alattas. Meskipun tidak terhitung sebagai ulama besar yang luar biasa ilmunya, tetapi beliau mempunyai hati yang bersih, berjuang karena Allah semata, jauh dari sifat takabur dan ujub, jauh dari kecintaan terhadap kemewahan dunia dan menghindari perdebatan masalah khilafiyah yang tidak membawa manfaat. Selama beliau hidup, Muhammadiyah mengalami masa yang tentram dan damai, jauh dari hiruk pikuk perdebatan masalah-masalah khilafiyah.

Setelah KH.Ahmad Dahlan meninggal, perkumpulan Muhammadiyah disemarakkan banyaknya diskusi-diskusi keagamaan oleh anggotanya baik secara pribadi dalam pertemuan-pertemuan maupun melibatkan perkumpulan, seperti yang terjadi pada kongres Islam di Surabaya tahun 1924. Topik utama yang didiskusikan dalam kongres ini antara lain adalah masalah ijtihad di seputar ajaran Muhammadiyah dan al-Irsyad. Diantara keputusan penting yang dihasilkan dalam kongres ini adalah bahwa Muhammadiyah dan al-Irsyad tidak sama dengan orang-orang Wahabi, bahwa kedua organisasi ini tidak dianggap menyimpang dari madzhab-madzhab hukum Islam, dan mereka yang melakukan tawassul tidak dianggap kafir.

Setelah terjadi perdebatan panjang, hangat dan tajam dalam kongres, para pemimpin muslim yang hadir sepakat bahwa pintu ijtihad masih terbuka dan dapat dilakukan oleh mereka yang memahami Bahasa Arab dan menguasai teks-teks al-Quran dan Hadits, menguasai ijma’ ulama, mengetahui para perawi hadits dan riwayat mereka, dan mengetahui alasan-alasan turunnya al-Quran dan dikeluarkannya matan-matan hadits.

Muhammadiyah selalu terbuka dan terus berkembang, termasuk dalam hal keputusan Tarjih. Hal ini karena dalam penentuan sebuah keputusan Tarjih diambil dengan cara mencari yang paling kuat dasarnya, bahkan bisa terjadi tidak sejalan dengan praktik yang dilakukan pendirinya, KH.Ahmad Dahlan. Demikian dikatakan Dr. Yunahar Ilyas di tengah Pengajian Mahasiswa, kamis (7/02/2008) di Kantor PP Muhammadiyah, Jl Cik Di Tiro Yogyakarta.

Menurut Ketua PP Muhammadiyah tersebut, KH.Ahmad Dahlan pada masa hidupnya banyak menganut fiqh madzhab Syafi’i, termasuk mengamalkan Qunut dalam shalat Shubuh dan shalat Tarawih 20 rakaat. Namun, setelah berdiriya Majelis Tarjih pada masa kepemimpinan KH. Mas Mansyur, terjadilah revisi-revisi setelah melakukan kajian mendalam, termasuk keluarnya Putusan Tarjih yang menuntunkan tidak dipraktikkannya doa Qunut di dalam shalat Shubuh dan jumlah rakaat shalat Tarawih menjadi sebelas rakat. “Ini wujud keterbukaan Muhammadiyah yang tidak fanatik” tegas Dr. Yunahar.

Dr. Yunahar lebih lanjut berkisah bahwa dahulu ketika Ahmad Dahlan muda bermukin di Makkah, sempat belajar kepada Syaikh Ahmad Khatib yang saat itu juga bersama Hasyim Asy’ari yang kemudian menjadi salah satu pendiri Nadhatul Ulama. Karena Syaikh Ahmad Khatib adalah seorang ulama bermadzhab Syafi’i, maka praktik ibadah KH.Ahmad Dahlan banyak yang mengikuti fiqh Madzhab Syafi’i. Hanya saja, karena KH.Ahmad Dahlan mendapat tugas dari Syaikh Ahmad Khatib untuk mempelajari al-Manar, karya Rasyid Ridha, maka KH.Ahmad Dahlan terpengaruh juga dengan pemikiran Rasyid Ridha yang menekankan tidak bermadzhab. “Contohnya, bila ada satu masalah yang kuat dasarnya Madzhab Syafi’i yang dianut Madzhab Syafi’i, kalau suatu masalah kuat Madzhab Hanafi, yang dianut Madzhab Hanafi” terang Dr. Yunahar. Hal inilah yang kemudian dianut Muhammadiyah, termasuk dalam pengambilan Putusan Tarjih.

Ringkasan KITAB FIQIH MUHAMMADIYAH, penerbit Muhammadiyah Bagian Taman Poestaka Jogjakarta, jilid III, diterbitkan th 1343 H (sekitar th 1926):

  1. Niat sholat pakai “USHOLLI FARDLA..” (h. 25)
  2. Setelah takbir baca “KABIRAN WAL HAMDULILLAHI KATSIRA..” (h. 25)
  3. Membaca al-Fatihah pakai “BISMILLAH” (h. 26)
  4. Setiap Shubuh baca QUNUT (h. 27)
  5. Membaca sholawat pakai “SAYYIDINA”, termasuk bacaan sholawat dalam sholat (h. 29)
  6. Setelah sholat disunnahkan WIRIDAN: Istighfar, Allahumma Antassalam, Subhanallah 33x, Alhamdulillah 33x, Allahu Akbar 33x (h. 40-42)
  7. Sholat Tarawih 20 rokaat, tiap 2 rokaat 1 salam (h. 49-50)
  8. Tentang sholat & khutbah Jum’at juga sama dengan amaliah NU (h. 57-60).

Refferensi:
  • Jainuri, Muhammadiyah Gerakan Reformasi Islam di Jawa pada Awal Abad ke-20, hal. 105.
  • Junus Salam, Riwayat Hidup KH. Ahmad Dahlan Amal Perjuangannya, hal. 62.
  • Karel A. Steenbrink. op cit, hal. 52.
  • Ali Mustafa Ya’kub, Hadits-hadits Bermasalah, hal. 155.
  • Junus Salam, op cit, hal. 8.
  • Deliar Noer, op cit, hal. 248

Sya’roni As-Samfuriy, Indramayu 5 Rabi’ul Awwal 1434 H

https://www.facebook.com/photo.php?fbid=395924917164853&set=a.356613851095960.85503.347695735321105&type=1&comment_id=1039406&ref=notif&notif_t=photo_comment&theater