Sunday, February 1, 2015

Winai Dahlan: Advancing halal science

Winai Dahlan


Winai Dahlan paused and smiled as he saw the next slide of his presentation at the Halal Science Center, Chulalongkorn University, Bangkok.

His presentation was about the history and role of the Halal Center, which he initiated in 1995, but he had inserted another slide that was close to his heart.

The projector displayed the poster of Sang Pencerah (The Enlightener), a 2010 Indonesian box office movie centering on the life of Ahmad Dahlan, the founder of Muhammadiyah, the second largest Islamic organization in Indonesia.

“They are my grandfather and grandmother, Ahmad Dahlan and Nyai [Mrs] Ahmad Dahlan,” he said, pointing to the man bearing blangkon (Javanese headdress) and a veiled woman on the poster.

“This has no relation to the Halal Center. I just want you to know that we come from the same root,” he said before a handful of Indonesian journalists over the weekend.

The center is widely recognized as the world’s first research institution specializing in halal products.

He is a Thai national but is ethnically Javanese.  His father, Irfan Dahlan, the fourth child of Ahmad Dahlan, was born in Kauman, Yogyakarta.

Irfan went to Lahore in Punjab, Pakistan, to study Islam in the 1920s. After completing his studies in 1933, he could not return to Indonesia as the Indian Ocean had become a battlefield during World War II.

Irfan settled in Thailand and married the daughter of an imam at the Jawa Mosque in Bangkok.

“My mother is also Javanese but was born in Thailand. My great grandfather built that mosque,” Winai explained.

The Jawa Mosque is located in the heart of a Javanese community in Sathorn district, Bangkok. The community was founded by a group of Javanese craftsmen who helped to build the palaces of King Chulalongkorn in the 1890s.

With the strong Islamic background, it is not surprising that Winai devotes his skills and abilities for the sake of Muslim societies, particularly those in Thailand.

“In Muslim-majority countries, you have no doubt about the halal status of products,” he said.

“But in non-Muslim countries, we don’t feel safe because we’re afraid that the food is contaminated haram [forbidden] ingredients,” said Winai, who obtained his doctorate’s degree in applied medical biology from Universite Libre de Bruxelles, Belgium.

There are approximately 7.5 million Thai Muslims in the country, representing about 12 percent of the total 62.5 million Thai population.

The presence of the halal center dates back to 1995, when he initiated a halal science laboratory at the faculty of allied health science at the university.

With the support of ASEAN, the laboratory was expanded into a Halal Science Training Center for ASEAN country members in 1998.

In 2006, the center was assigned to be a secretary to the Halal Products and Services Working Group of a subregional cooperation: the Indonesia-Malaysia-Thailand Growth Triangle (IMT-GT).

Soon after receiving financial aid from the Thailand government, Winai established two branches of the halal center in Pattani, one of the Thailand’s southernmost provinces, and Chiang Mai, a culturally-significant city in northern Thailand.

Winai said the center employed 20 scientists and 20 staff, with 90 percent of them Muslim.

“Ulema councils, including the MUI [Indonesian Ulema Council], prefer to have Muslim scientists overseeing the certification of halal products, because they have to be witnesses for the ulemas [who issue halal certificates] in kiamat [the judgment day],” Winai explained.

The center detects pork, or other non-halal mixtures, in food products through several methods, including DNA sampling and a flame ionization detector (FID) technique.

The center’s scientists have also combined their technologies to create a more efficient halal certification process. They have developed specialized information and communications technology on the production of halal products.

The system enables ulemas to supervise the product — from the raw materials and manufacturing process until delivery to stores — with one click from their computer tablets.

The center is currently developing a barcode system for halal products.

“By scanning the barcode through hand phones, people will get full information about the product, including the name of the ulema that issues the product’s halal certificate,” he said.

In 18 years of service, the Halal Center has received numerous awards, including the Best Innovations 2012 from the World Halal Research Summit in Malaysia and the 2009 Recognition Award from the Islamic Da’wah Council of the Philippines.

For his role as the center’s founding director, Winai received The King’s Service Medal, The Dusdee Mala in 2009 for his achievements in science.

The Royal Islamic Strategic Studies Centre listed Winai as one of “the world’s 500 most influential Muslims” for three consecutive years.

Winai and his research team are expected to play more significant role in the cooperation between Thailand and Indonesia — the latter being the world’s most populous Muslim-majority country — in the coming years.

Last year, Indonesia’s President Susilo Bambang Yudhoyono and Thailand’s Prime Minister Yingluck Sinawatra included the halal food industry as a top priority in their cooperation agenda.

Winai is a man of forward vision. He expected that his advanced halal science would not only benefit Muslims in the region, but also the world community.

“What we desire is halal tayyib food. Halal means lawful for mankind to be consumed or utilized, while tayyib refers to good, safe, healthy and hygienic products. This means that halal is not only for Muslims. Halal is good for all,” Winai said.

See more at: http://www.thejakartapost.com/news/2013/03/08/winai-dahlan-advancing-halal-science.html


Cucu KH Ahmad Dahlan, Pendiri The Halal Science Center Thailand



Jakarta - Di balik pendirian The Halal Science Center Thailand, ternyata ada pria berdarah Indonesia di belakangnya. Dia adalah Dr Winai Dahlan. Siapa dia? Ilmuwan alumnus Universite Libre de Bruxxelles, Belgia ini adalah cucu KH Ahmad Dahlan, pendiri Muhammadiyah.

Winai Dahlan yang berdarah 100 persen Indonesia ini lahir dan besar di Thailand. Kedua orangtuanya asli dari Indonesia. Kedua orangtua Winai telah menetap di Bangkok, Thailand sejak 1930-an untuk berdakwah.

Besar di Thailand, Winai yang rendah hati ini menempuh pendidikan yang baik. Bahkan, dia kemudian mendapat gelar doktor di bidang Biologi Medikal Terapan dari Universite Libre de Bruxxelles, Belgia dengan predikat magna cum laude. Kini Winai menjadi peneliti dan pengajar di Faculty of Allied Health Sciences pada Chulalongkorn University, salah satu universitas tertua di Thailand.

Sebagai cucu pendiri organisasi Islam terbesar kedua di Indonesia dan juga sesuai dengan keilmuan yang dimilikinya, Winai sangat serius dalam meneliti produk makanan dan minuman halal. Kehalalan produk makanan dan minuman yang akan dikonsumsi merupakan hal yang sangat penting bagi umat Islam.

Pada 1994, Winai mengembangkan teknik analisa mengenai halal food dengan metode-metode yang dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah. Inisiatif mulia tersebut disambut baik oleh Chulalongkorn University yang pada tahun 2004 dengan mendirikan The Halal Science Center, Chulalongkorn University (HSC-CU) dengan dukungan Pemerintah Kerajaan Thailand. Pusat ini merupakan salah satu badan penelitian pertama di dunia dengan spesialisasi bidang sains halal food. Tujuan pendiriannya adalah untuk membantu Komite Islam Thailand dalam melaksanakan misinya, terutama dalam sebagai Halal Certification Agency.

Dalam melakukan tugasnya, HSC-CU membangun jaringan dan kerjasama dengan laboratorium sains halal lain di dunia untuk kepentingan umat dan ilmu pengetahuan. Selain itu, HSC-CU telah berperan aktif memimpin Working Group on Halal Products and Services (HAPAS) dalam kerangka Indonesia-Malaysia-Thailand Growth Triangle (IMT-GT).

Pendirian HSC-CU di Thailand ini sangat menarik. Sebab, HSC-CU didirikan di negara Thailand yang dihuni tak lebih dari 3 juta muslim atau hanya sekitar 4,6% dari 66 juta total penduduk Thailand.

Kiprah Dr. Winai Dahlan dalam dunia sains dan penelitian halal food sangat menonjol ketika pada tahun 1994 beliau mengembangkan teknik analisa untuk mendeteksi tingkat kontaminasi pada makanan halal di laboratorium Faculty of Allied Health Sciences pada Chulalongkorn University, salah satu universitas tertua di Thailand.

Sebagai tokoh sentral dalam pendirian HSC-CU, Winai diangkat sebagai Direktur HSC-CU tersebut sejak tahun 2008 hingga kini. Berdasarkan dedikasi dan karya penelitiannya yang sangat berguna tidak hanya bagi umat Islam tetapi juga bagi Kerajaan Thailand dan dunia ilmu pengetahuan pada umumnya, Dr. Winai sebagai seorang ilmuwan dan Pegawai Negeri Sipil (PNS) Thailand telah dianugerahi Dusdee Mala Medal, medali tertinggi dari Raja Thailand.

Beberapa hari lalu, sesuai keterangan persnya yang diterima detikcom, Jumat (15/6/2012), pihak KBRI di Bangkok telah bersilaturahmi dan bertemu Winai. Kesederhanaan dan kerendahan hati Dr Winai ini tampak sangat jelas ketika menerima Tim KBRI Bangkok yang dipimpin oleh Bob Tobing, Kabid Pensosbud KBRI Bangkok di HSC-CU, Bangkok. Pertemuan ini sendiri merupakan bagian dari upaya mensukseskan acara Conggress of Indonesian Diasporas, di Los Angeles, California, 6-8 Juli 2012 mendatang.

Dengan segala keramahtamahannya, Winai bersedia berbagi pengalaman bahwa meskipun kelompok diaspora Indonesia di Thailand terbilang kecil, namun mereka dapat hidup dengan baik di Thailand, tanpa ada diskriminasi. Darah Indonesia yang mengalir dalam tubuhnya, juga tidak membuat Dr. Winai lupa akan akar budaya dan asal usulnya.

"Beliau sangat berterima kasih dan berbangga menjadi bagian dari diaspora Indonesia," tulis KBRI Bangkok dalam rilisnya.

Di akhir pertemuan dengan KBRI Bangkok, Winai Dahlan memanjatkan doa untuk kesejahteraan bangsa Indonesia dan seluruh masyarakat Indonesia di mana pun berada.


Sumber:

Ensiklopedia Muhammadiyah Satukan Keluarga Ahmad Dahlan

Ensiklopedia Muhammadiyah Satukan Keluarga Ahmad Dahlan

Selasa, 16/04/2013 - 16:13

YOGYAKARTA, (PRLM).- Muhammadiyah meluncurkan ensiklopedia organisasi Islam yang lahir pada 1912. Ensiklopedia tersebut menjadi momentum menyatukan keluarga pendiri organisasi Muhammadiyah, KH Ahmad Dahlan.

Dalam soft launcing ensiklopedia tersebut, di Asri Medical Center Yogyakarta, Selasa (16/4), puluhan keturunan almarhum KH Ahmad Dahlan ikut berkumpul di gedung tersebut, sebanyak 23 di antaranya keturunan yang menetap di Thailand.

Berdasarkan dokumen, KH Ahmad Dahlan memiliki beberapa istri, yaitu Siti Walidah, Nyai Abdullah, Nyai Rum, Nyai Aisyah Cianjur, Nyai Yasin Pakualam Yogyakarta. Maka keturunan almarhum tersebar di berbagai daerah di tanah air hingga ke luar negeri, di antaranya di Thailand.

Keturunan KH Ahmad Dahlan di Thailand dari keturunan Irfan Dahlan, putra keempat almarhum. Keturunan Irfan Dahlan, seorang di antaranya Dr Winay Dahlan, pendiri dan direktur the Halal Science Center Chulalongkorn University dan kepala The Lipid and Fat Science Research pada International Graduate Program Chair in Food and Nutrition.

Winay Dahlan menyatakan terjadi keterputusan komunikasi dan hubungan keturunan KH Ahmad Dahlan, terutama keturunan yang di luar negeri, sebelum ada gagasan penulisan ensiklopedia Muhammadiyah

Menurut dia pembukuan ensiklopedia Muhamamdiyah membuka jalan untuk merajut keturunan-keturunan KH Ahmad Dahlan. Dia didampingi 23 cucu dan cicit almarhum, mengibaratkan kembali ke akar sejarah hidup keluarga dan organisasi Muhamamdiyah.

"Kami bersama 23 keluarga KH Ahmad Dahlan datang ke Yogyakarta, Indonesia, seperti kembali ke akar sejarah. Dari sini pendiri Muhammadiyah lahir dan melahirkan keturunannya, dan ke sini kami kembali ke akar sejarah," ujar Winay Dahlan.

Ensiklopedia Muhammadiyah, kata ketua penyusun Dr. Mukti Fajar (Lembaga Pengembangan Penelitian, Pendidikan Masyarakat (LP3M) Universitas Muhammadiyah Yogyakarta), sebagai momentum dan babad komtemporer merekam sejarah Muhammadiyah.

Dia mengklaim ensiklopedia setebal 900 halaman sebagai kumpulan sejarah terlengkap dari buku-buku sejenis yang ditulis berbagai pihak. Karena itu dia menjamin bisa menjadi rujukan keilmuan karena penulisan dari berbagai sudut pandang sejarah, sosiologi, antropologi, politik, sosial, agama dan budaya.

Pimpinan editor penulisan ensiklopedia Dr Phil Ahmad Noorma Permata menyatakan konten ensiklopedia menggambarkan kekayaan sejarah dan sukses sejarah organisasi Muhammadiyah dari masa ke masa. (A-84/A-147)***


Sumber: http://www.pikiran-rakyat.com/node/231300

Winai Dahlan paused and smiled as he saw the next slide of his presentation at the Halal Science Center, Chulalongkorn University, Bangkok.

His presentation was about the history and role of the Halal Center, which he initiated in 1995, but he had inserted another slide that was close to his heart.

The projector displayed the poster of Sang Pencerah (The Enlightener), a 2010 Indonesian box office movie centering on the life of Ahmad Dahlan, the founder of Muhammadiyah, the second largest Islamic organization in Indonesia.

“They are my grandfather and grandmother, Ahmad Dahlan and Nyai [Mrs] Ahmad Dahlan,” he said, pointing to the man bearing blangkon (Javanese headdress) and a veiled woman on the poster.

“This has no relation to the Halal Center. I just want you to know that we come from the same root,” he said before a handful of Indonesian journalists over the weekend.

The center is widely recognized as the world’s first research institution specializing in halal products.

He is a Thai national but is ethnically Javanese.  His father, Irfan Dahlan, the fourth child of Ahmad Dahlan, was born in Kauman, Yogyakarta.

Irfan went to Lahore in Punjab, Pakistan, to study Islam in the 1920s. After completing his studies in 1933, he could not return to Indonesia as the Indian Ocean had become a battlefield during World War II.

Irfan settled in Thailand and married the daughter of an imam at the Jawa Mosque in Bangkok.

“My mother is also Javanese but was born in Thailand. My great grandfather built that mosque,” Winai explained.

The Jawa Mosque is located in the heart of a Javanese community in Sathorn district, Bangkok. The community was founded by a group of Javanese craftsmen who helped to build the palaces of King Chulalongkorn in the 1890s.

With the strong Islamic background, it is not surprising that Winai devotes his skills and abilities for the sake of Muslim societies, particularly those in Thailand.

“In Muslim-majority countries, you have no doubt about the halal status of products,” he said.

“But in non-Muslim countries, we don’t feel safe because we’re afraid that the food is contaminated haram [forbidden] ingredients,” said Winai, who obtained his doctorate’s degree in applied medical biology from Universite Libre de Bruxelles, Belgium.

There are approximately 7.5 million Thai Muslims in the country, representing about 12 percent of the total 62.5 million Thai population.

The presence of the halal center dates back to 1995, when he initiated a halal science laboratory at the faculty of allied health science at the university.

With the support of ASEAN, the laboratory was expanded into a Halal Science Training Center for ASEAN country members in 1998.

In 2006, the center was assigned to be a secretary to the Halal Products and Services Working Group of a subregional cooperation: the Indonesia-Malaysia-Thailand Growth Triangle (IMT-GT).

Soon after receiving financial aid from the Thailand government, Winai established two branches of the halal center in Pattani, one of the Thailand’s southernmost provinces, and Chiang Mai, a culturally-significant city in northern Thailand.

Winai said the center employed 20 scientists and 20 staff, with 90 percent of them Muslim.

“Ulema councils, including the MUI [Indonesian Ulema Council], prefer to have Muslim scientists overseeing the certification of halal products, because they have to be witnesses for the ulemas [who issue halal certificates] in kiamat [the judgment day],” Winai explained.

The center detects pork, or other non-halal mixtures, in food products through several methods, including DNA sampling and a flame ionization detector (FID) technique.

The center’s scientists have also combined their technologies to create a more efficient halal certification process. They have developed specialized information and communications technology on the production of halal products.

The system enables ulemas to supervise the product — from the raw materials and manufacturing process until delivery to stores — with one click from their computer tablets.

The center is currently developing a barcode system for halal products.

“By scanning the barcode through hand phones, people will get full information about the product, including the name of the ulema that issues the product’s halal certificate,” he said.

In 18 years of service, the Halal Center has received numerous awards, including the Best Innovations 2012 from the World Halal Research Summit in Malaysia and the 2009 Recognition Award from the Islamic Da’wah Council of the Philippines.

For his role as the center’s founding director, Winai received The King’s Service Medal, The Dusdee Mala in 2009 for his achievements in science.

The Royal Islamic Strategic Studies Centre listed Winai as one of “the world’s 500 most influential Muslims” for three consecutive years.

Winai and his research team are expected to play more significant role in the cooperation between Thailand and Indonesia — the latter being the world’s most populous Muslim-majority country — in the coming years.

Last year, Indonesia’s President Susilo Bambang Yudhoyono and Thailand’s Prime Minister Yingluck Sinawatra included the halal food industry as a top priority in their cooperation agenda.

Winai is a man of forward vision. He expected that his advanced halal science would not only benefit Muslims in the region, but also the world community.

“What we desire is halal tayyib food. Halal means lawful for mankind to be consumed or utilized, while tayyib refers to good, safe, healthy and hygienic products. This means that halal is not only for Muslims. Halal is good for all,” Winai said. - See more at: http://www.thejakartapost.com/news/2013/03/08/winai-dahlan-advancing-halal-science.html#sthash.aU23wE5C.dpuf

Winai Dahlan Cucu Ahmad Dahlan dari Thailand Berkunjung ke Yogyakarta



Winai Dahlan di acara soft launching Ensiklopedi Muhammadiyah


Cucu KH. Ahmad Dahlan, Prof. Dr. Winai Dahlan, kembali berkunjung ke kampung halaman orang tua dan kakeknya, Yogyakarta. Kunjungannya kali ini ia lakukan dalam rangka mempelajari dan mengetahui lebih dalam mengenai akar dan sejarah keluarganya. Hal ini dianggap penting oleh Prof Winai karena kakeknya merupakan seorang pendiri organisasi masyarakat terbesar di Indonesia, yaitu Muhammadiyah.

Prof. Winai Dahlan mengawali kunjungannya dengan mendatangai Universitas Muhammadiyah Yogyakarta (UMY), Senin (15//4). Dalam kunjungannya ini ia mengenalkan 23 orang yang datang bersamanya dari Thailand. Dari 23 orang tersebut, 10 orang diantaranya adalah cicit KH. Ahmad Dahlan, dan 2 orang canggah (anak dari cicit). Kunjungan dari keluarga Prof. Winai ini disambut langsung oleh Rektor UMY Prof. Dr. Bambang Cipto. M.A, dan Wakil Rektor I UMY Dr. Ir. Gunawan Budiyanto, MP di ruang Rektorat UMY.

Selepas berkunjung ke UMY, Prof. Winai beserta rombongan juga menghadiri acara Soft Launching Ensiklopedi Muhammadiyah di gedung Asri Medical Center (AMC) Kampus Terpadu UMY, pada keesokan harinya yakni Selasa (16/4). Dalam testimoninya cucu KH. Ahmad Dahlan ini menceritakan bahwa dirinya adalah anak dari Irfan Dahlan yang merupakan anak KH. Ahmad Dahlan dengan Siti Walidah, atau yang dikenal dengan sebutan Nyai Dahlan, seorang Pahlawan Nasional dan pendiri pegerakan Aisyiyah.

Direktur Halal Science Center, Chulalongkorn University, Bangkok -Thailand ini juga merasa senang dengan diluncurkannya Ensiklopedi Muhammadiyah tersebut. Bahkan dari ensiklopedi tersebut, ia mengatakan bisa belajar banyak mengenai akar keluarganya. “Ini adalah buku yang komprehensif mengenai Muhammadiyah. Buku ini juga yang bisa membuat saya mengetahui akar keluarga saya,” paparnya.

“Saya datang ke Jogja juga untuk mengenali kembali keluarga yang hilang. Karena ada seorang ilmuan di Thailand yang mengatakan bahwa saya adalah cucu seorang tokoh besar di Indonesia. Oleh karena itulah, saya datang ke sini,” ungkap Prof. Winai. Ia juga masih mengingat kata-kata yang diucapkan oleh ayahnya, Irfan Dahlan, ketika masih hidup. “Sejauh-jauhnya orang Muhammadiyah itu pergi, pada akhirnya akan kembali pada Muhammadiyah juga,” kenangnya.

Untuk mewujudkan apa yang dikatakan oleh ayahnya inilah, Prof. Winai kemudian mengadakan kerjasama dengan perguruan tinggi – perguruan tinggi Muhammadiyah di Indonesia, seperti UMY dan UM Malang. “Kami, keluarga Muhammadiyah di Thailand juga berharap bisa membantu warga Muhammadiyah di sini. Agar kami juga dapat berbagi ilmu pada sesama,” pungkasnya.

Sumber: http://www.umy.ac.id/winai-dahlan-pelajari-akar-keluarganya.html

Sejarah Awal Muhammadiyah Yang Terlupakan

http://pustakamuhibbin.blogspot.com/2013/01/sejarah-awal-muhammadiyah-yang.html



Perkumpulan Muhammadiyah didirikan pada tanggal 18 November 1912 dan baru mendapat persetujuan dari Gubernur Jenderal Belanda di Jakarta pada tanggal 22 Agustus 1914. Sayyid Abdullah bin Alwi Alattas seorang staf Jamiat Kheir sangat berperan dalam usaha Ahmad Dahlan menghadapi kegiatan Missi dan Zending di Jawa ini, ia memberikan bantuan keuangan untuk berdirinya perkumpulan Muhammadiyah.

Memang pada awalnya perkumpulan ini didirikan sebagai reaksi terhadap kondisi umat Islam di Hindia Belanda terutama di Jawa ketika itu yang dinilai tidak mampu menghadapi tantangan zaman karena lemah dalam berbagai bidang kehidupan. Menurut Hamka, ada tiga faktor yang melemahkan umat Islam, yang dinilai Ahmad Dahlan agak memprihatinkan, yaitu; keterbelakangan atau kebodohan, kemiskinan dan kondisi pendidikan Islam yang sangat kuno, sehingga tidak mampu mengantisipasi dan bersaing dengan sekolah-sekolah Missi dan Zending.

Menurut Harun Nasution, motivasi lain yang juga menjadi pendorong Ahmad Dahlan, adalah ide-ide Muhammad Abduh dan Rasyid Ridha yang terdapat dalam majalah al-Manar. Majalah ini juga menjadi salah satu bacaan Ahmad Dahlan terutama sekembali dari tanah suci. Ahmad Dahlan memberi perhatian besar pada pengajaran dan pendidikan serta menghindari keterlibatan dalam politik praktis. Tujuan ini sama dengan tujuan didirikannya perkumpulan Jamiat Kheir yang menekankan masalah sosial dan pendidikan. Pada Anggaran Dasar Muhammadiyah tahun 1921 tujuan dari perkumpulan ini, yang terdapat pada artikel 2 dan 3 menekankan kepada pengajaran dan pendidikan.

Setelah delapan tahun berdiri, Muhammadiyah telah tersebar ke seluruh pulau Jawa bahkan seluruh Indonesia. Di tiap-tiap cabang didirikan sekolah-sekolah Muhammadiyah. Sekolah-sekolah tersebut terdiri atas sekolah Diniyyah yang khusus mengajarkan agama dan sekolah-sekolah model pemerintah yang memberikan pengajaran agama dan pengajaran umum. Dilihat dari kurikulum pengajarannya, menampilkan kesan bahwa integrasi materi pengajaran ilmu pengetahuan agama dan ilmu pengetahuan umum, mencerminkan model kurikulum yang telah dirintis oleh perguruan Islam sebelumnya, terutama Jamiat Kheir diterapkan dalam persyarikatan Muhammadiyah.

Pengaruh Jamiat Kheir terhadap Ahmad Dahlan memang terlihat dari pemikirannya tentang pendidikan Islam. Beberapa pernyataan memberi informasi bahwa Ahmad Dahlan menjadi anggota ke-770 Jamiat Kheir. Dalam pengantar buku Thariqah menuju Kebahagiaan, Muhammad al-Bagir menulis:

“Tertarik kepada ide-ide pembaharuan yang timbul dalam Jamiat Kheir ini, dan yang digambarkan sebagai penggerak Dunia Islam Baru yang pertama kali di Indonesia, khususnya di pulau Jawa, banyak tokoh agama dan nasional mencatatkan diri sebagai anggotanya. Diantara mereka inilah terdapat tokoh-tokoh yang kemudian mendirikan perkumpulan-perkumpulan seperti Muhammadiyah, Nahdlatul Ulama, Sarekat Islam dan Budi Utomo. Tercatat sebagai anggota antara lain KH. Ahmad Dahlan sebagai anggota nomor 770. Dari sanalah mereka mengenal bacaan-bacaan kaum reformis Islam yang didatangkan dari luar negeri.”

Menurut Karel A. Steenbrink, K.H.Ahmad Dahlan bukanlah seorang teoritikus dalam bidang agama. Dia lebih bersifat pragmatikus yang sering menekankan semboyan kepada murid-muridnya: ‘Sedikit bicara, banyak bekerja’. Dia juga merupakan salah seorang murid ulama Syafi’i, Syaikh Ahmad Khatib yang terkenal di Mekkah.

Ali Musthafa Ya’kub mengatakan bahwa Ahmad Dahlan melakukan shalat Tarawih dua puluh raka’at, sebagaimana hal tersebut dilakukan oleh KH. Hasyim Asy’ari dan pengikut madzhab Syafi’i di Indonesia.

Bahkan saking dekatnya ikatan emosional KH. Ahmad Dahlan dengan Ahlul Bayt beliau menyarankan bahwa segeralah membentuk organisasi otonom kaum perempuan Muhammadiyah dan nama yang diusulkan beliau adalah Fathimah dengan alasan yang paling pas nama yang disandingkan di sisi Rasul Saw. dalam perjuangan dan dakwah Islam adalah putri tercinta Nabi Saw. Sayyidah Fathimah dan para pengikutnya dinamakan Fathimiyah. Akan tetapi terjadi perdebatan diantara sahabat dan pengurus awal Muhammadiyah mengenai nama Fathimah atau Aisyiyah dan suara terbanyak menginginkan nama Aisyiyah sehingga dinamakanlah organisasi otonom (ortom) itu dengan Aisyiyah.

Sebelum mendirikan Muhammadiyah, KH. Ahmad Dahlan bergabung terlebih dahulu dengan Jamiat Khair, gerakan pembaharu Islam pertama di Indonesia berdiri tahun 1901. Melalui organisasi ini KH.Ahmad Dahlan berkenalan dengan Syeikh Ahmad Syurkati, Sayyid Abdullah Alattas yang sudah lebih dulu mengenal gagasan pembaharuan Islam serta memiliki akses terhadap publikasi gagasan-gagasan pembaruan Islam di Timur Tengah. Inilah yang melatar-belakangi ketertarikan KH.Ahmad Dahlan bergabung dengan Jamiat Khair. Organisasi inilah yang mengilhaminya untuk membangun organisasi Islam berwawasan modern.

Tekanan dari penjajah Belanda berpengaruh besar terhadap pergerakan umat Islam di Nusantara. Untuk mengembalikan pergerakan umat Islam ke jalan yang benar, para pengikut pemikiran Jamaluddin al-Afghani dan Muhammad Abduh membawa gerakan pembaharuan melalui pan islamismenya di Kampung Pekojan. Perjuangan dua tokoh ini bak gayung bersambut dan dilaksanakan oleh pejuang Islam tanah air yang kemudian melahirkan sebuah organisasi Islam di Pekojan pada tahun 1901. Organisasi ini diberi nama Jamiat Khair. Didirikan oleh Sayyid Ali Shahab dan Sayyid Idrus Shahab. Organisasi ini tidak bergerak di bidang politik tetapi menitikberatkan pada semangat pembaruan melalui lembaga pendidikan modern.

Meski membangun basis perjuangan melalui pendidikan, Jamiat Khair tidaklah berbentuk sekolah agama melainkan sekolah dasar biasa dengan kurikulum modern. Para siswa tidak melulu diajarkan materi agama tetapi juga materi umum seperti berhitung, sejarah atau ilmu bumi. Rasa nasionalisme mulai dipupuk di organisasi ini. Hal itu terlihat dari penggunaan bahasa Melayu sebagai pengantar dan bukan bahasa Belanda. Selain itu, organisasi ini juga mewajibkan siswanya mempelajari Bahasa Inggris sebagai pengganti Bahasa Belanda. Sedangkan bahasa Arab dipelajari sebagai pengantar untuk materi keislaman. Organisasi ini juga tidak membedakan golongan ataupun status seperti yang dilakukan Belanda. Ini lantaran siswa yang belajar tidak hanya golongan keturunan Arab tetapi juga warga bumiputera.

Jamiat khair juga berperan atas masuknya unsur-unsur modern dalam masyarakat Islam, misalnya keberadaan anggaran dasar, daftar anggota, rapat-rapat berkala dan mendirikan sekolah dengan cara-cara modern. Kelak di kemudian hari organisasi ini menghasilkan tokoh KH. Ahmad Dahlan (pendiri Muhammadiyah) dan HOS Tjokroaminoto (pendiri Syarikat Islam) dan organisasi keIslaman lain di Nusantara.

Wawasan keberagamaan KH.Ahmad Dahlan mengedapankan sikap inklusivitas, pluralitas dan relativitas dalam memandang sebuah pemahaman kebenaran. Kepribadian KH.Ahmad Dahlan ini sangat mewarnai corak penampilan Muhammadiyah pada fase–fase awal.

Dapat kita cermati, bahwa KH.Ahmad Dahlan merupakan orang yang terbuka, respek, toleran, moderat dan serba ingin tahu. Rickes menggambarkan kepribadian KH.Ahmad Dahlan tersebut sebagai berikut: “Dahlan was a kind of Indonesia of the Calvinist ethic, an energetic, militant, intelligent man some forty year of age, obviously with some Arab blood and stricly orthodox but with a trace of torelance”.

Maka tidak mengejutkan bila dalam pidato terakhir bulan Desember 1922, sebelum meninggal dunia, KH. Ahmad Dahlan menyatakan bahwa problem utama mengapa umat Islam lemah dan sulit bekerjasama ialah karena setiap orang, pemimpin dan kelompok, merasa paling benar sendiri, dan menganggap segala yang datang dari orang lain, apalagi yang memusuhi, selalu salah, buruk dan jahat. Pesan pidato KH.Ahmad Dahlan tersebut diabadikan Charles Kurzman (2002) di bawah judul “The Unity of Human Life”

Setelah KH.Ahmad Dahlan wafat pada usia 54 tahun di Yogyakarta, 23 Februari 1923 dan dimakamkan di Karangkajen, Yogyakarta, salah satu pemimpin Muhammadiyah selanjutnya adalah H. Mas Mansur, atas idenya Muhammadiyah mendirikan Majlis Tarjih pada tahun 1927, sehingga dengan berdirinya Majlis Tarjih, gerak langkah Muhammadiyah dalam menimbang Hukum Agama tidak lagi bertaklid kepada satu madzhab dan lebih jelasnya bahwa Muhammadiyah tidak bermadzhab Syafi’i.

KH. Ahmad Dahlan banyak membaca buku-buku dan majalah-majalah agama dan umum, banyak bergaul dengan berbagai kalangan, selama perjalanannya, terutama dengan orang-orang Arab, sehingga ide-idenya bertambah dan berkembang terus. Salah satu kitab yang digemarinya adalah kitab al-Qashaid al-Atthasiyah karangan Sayyid Abdullah Alattas. Meskipun tidak terhitung sebagai ulama besar yang luar biasa ilmunya, tetapi beliau mempunyai hati yang bersih, berjuang karena Allah semata, jauh dari sifat takabur dan ujub, jauh dari kecintaan terhadap kemewahan dunia dan menghindari perdebatan masalah khilafiyah yang tidak membawa manfaat. Selama beliau hidup, Muhammadiyah mengalami masa yang tentram dan damai, jauh dari hiruk pikuk perdebatan masalah-masalah khilafiyah.

Setelah KH.Ahmad Dahlan meninggal, perkumpulan Muhammadiyah disemarakkan banyaknya diskusi-diskusi keagamaan oleh anggotanya baik secara pribadi dalam pertemuan-pertemuan maupun melibatkan perkumpulan, seperti yang terjadi pada kongres Islam di Surabaya tahun 1924. Topik utama yang didiskusikan dalam kongres ini antara lain adalah masalah ijtihad di seputar ajaran Muhammadiyah dan al-Irsyad. Diantara keputusan penting yang dihasilkan dalam kongres ini adalah bahwa Muhammadiyah dan al-Irsyad tidak sama dengan orang-orang Wahabi, bahwa kedua organisasi ini tidak dianggap menyimpang dari madzhab-madzhab hukum Islam, dan mereka yang melakukan tawassul tidak dianggap kafir.

Setelah terjadi perdebatan panjang, hangat dan tajam dalam kongres, para pemimpin muslim yang hadir sepakat bahwa pintu ijtihad masih terbuka dan dapat dilakukan oleh mereka yang memahami Bahasa Arab dan menguasai teks-teks al-Quran dan Hadits, menguasai ijma’ ulama, mengetahui para perawi hadits dan riwayat mereka, dan mengetahui alasan-alasan turunnya al-Quran dan dikeluarkannya matan-matan hadits.

Muhammadiyah selalu terbuka dan terus berkembang, termasuk dalam hal keputusan Tarjih. Hal ini karena dalam penentuan sebuah keputusan Tarjih diambil dengan cara mencari yang paling kuat dasarnya, bahkan bisa terjadi tidak sejalan dengan praktik yang dilakukan pendirinya, KH.Ahmad Dahlan. Demikian dikatakan Dr. Yunahar Ilyas di tengah Pengajian Mahasiswa, kamis (7/02/2008) di Kantor PP Muhammadiyah, Jl Cik Di Tiro Yogyakarta.

Menurut Ketua PP Muhammadiyah tersebut, KH.Ahmad Dahlan pada masa hidupnya banyak menganut fiqh madzhab Syafi’i, termasuk mengamalkan Qunut dalam shalat Shubuh dan shalat Tarawih 20 rakaat. Namun, setelah berdiriya Majelis Tarjih pada masa kepemimpinan KH. Mas Mansyur, terjadilah revisi-revisi setelah melakukan kajian mendalam, termasuk keluarnya Putusan Tarjih yang menuntunkan tidak dipraktikkannya doa Qunut di dalam shalat Shubuh dan jumlah rakaat shalat Tarawih menjadi sebelas rakat. “Ini wujud keterbukaan Muhammadiyah yang tidak fanatik” tegas Dr. Yunahar.

Dr. Yunahar lebih lanjut berkisah bahwa dahulu ketika Ahmad Dahlan muda bermukin di Makkah, sempat belajar kepada Syaikh Ahmad Khatib yang saat itu juga bersama Hasyim Asy’ari yang kemudian menjadi salah satu pendiri Nadhatul Ulama. Karena Syaikh Ahmad Khatib adalah seorang ulama bermadzhab Syafi’i, maka praktik ibadah KH.Ahmad Dahlan banyak yang mengikuti fiqh Madzhab Syafi’i. Hanya saja, karena KH.Ahmad Dahlan mendapat tugas dari Syaikh Ahmad Khatib untuk mempelajari al-Manar, karya Rasyid Ridha, maka KH.Ahmad Dahlan terpengaruh juga dengan pemikiran Rasyid Ridha yang menekankan tidak bermadzhab. “Contohnya, bila ada satu masalah yang kuat dasarnya Madzhab Syafi’i yang dianut Madzhab Syafi’i, kalau suatu masalah kuat Madzhab Hanafi, yang dianut Madzhab Hanafi” terang Dr. Yunahar. Hal inilah yang kemudian dianut Muhammadiyah, termasuk dalam pengambilan Putusan Tarjih.

Ringkasan KITAB FIQIH MUHAMMADIYAH, penerbit Muhammadiyah Bagian Taman Poestaka Jogjakarta, jilid III, diterbitkan th 1343 H (sekitar th 1926):

  1. Niat sholat pakai “USHOLLI FARDLA..” (h. 25)
  2. Setelah takbir baca “KABIRAN WAL HAMDULILLAHI KATSIRA..” (h. 25)
  3. Membaca al-Fatihah pakai “BISMILLAH” (h. 26)
  4. Setiap Shubuh baca QUNUT (h. 27)
  5. Membaca sholawat pakai “SAYYIDINA”, termasuk bacaan sholawat dalam sholat (h. 29)
  6. Setelah sholat disunnahkan WIRIDAN: Istighfar, Allahumma Antassalam, Subhanallah 33x, Alhamdulillah 33x, Allahu Akbar 33x (h. 40-42)
  7. Sholat Tarawih 20 rokaat, tiap 2 rokaat 1 salam (h. 49-50)
  8. Tentang sholat & khutbah Jum’at juga sama dengan amaliah NU (h. 57-60).

Refferensi:
  • Jainuri, Muhammadiyah Gerakan Reformasi Islam di Jawa pada Awal Abad ke-20, hal. 105.
  • Junus Salam, Riwayat Hidup KH. Ahmad Dahlan Amal Perjuangannya, hal. 62.
  • Karel A. Steenbrink. op cit, hal. 52.
  • Ali Mustafa Ya’kub, Hadits-hadits Bermasalah, hal. 155.
  • Junus Salam, op cit, hal. 8.
  • Deliar Noer, op cit, hal. 248

Sya’roni As-Samfuriy, Indramayu 5 Rabi’ul Awwal 1434 H

https://www.facebook.com/photo.php?fbid=395924917164853&set=a.356613851095960.85503.347695735321105&type=1&comment_id=1039406&ref=notif&notif_t=photo_comment&theater

Perubahan Kepahaman di Muhammadiyah



Ternyata memang ada pergeseran kepahaman di Muhammadiyah dari zaman KH Ahmad Dahlan ke zaman sekarang. Dijelaskan dalam 2 artikel:



Fiqih Ahmad Dahlan Dan Majelis Tarjih

Penemuan kitab fiqih jilid III terbitan Muhammadiyah bagian taman pustaka Jogjakarta yang isinya berseberangan dengan mainstream paham keagamaan Majelis Tarjih telah meresahkan para aktivis dan mubaligh Muhammadiyah di level akar rumput. Berdasarkan sumber kitab fiqih tersebut, paham keagamaan Muhammadiyah pada periode awal- begitu juga paham fiqih Ahmad Dahlan, dinilai sejalan dengan paham keagamaan(fiqih) tradisionalis seperti yang dilestarikan organisasi lain.
Sesungguhnya, penemuan kitab fiqih tersebut bukan hal baru, apalagi kitab tersebut diterbitkan sebelum Majelis Tarjih terbentuk. Gerakan Muhammadiyah pada waktu itu memang belum menyentuh ranah fiqih sehingga paham keagamaanya masih mengikuti mainstream paham kesilaman pada umumnya. Sebagai contoh, KH. Ahmad Dahlan dan Haji Fachrodin pernah membantu Perserikatan Pegadaian Boemiputra(PPB) meminjam dana di bank milik pemerintah colonial dengan system bunga. Salah satu buku karya Haji Fachrodin (Marganing Koemawoelo) berisi penjelasan tatacara shalat yang masih menggunakan qunut pada shalat shubuh. Kitab-kitab fiqih (bahasa arab)terbitan Muhammadiyah Bagian Taman Pustaka juga masih banyak menggunakan “sayyid” ketika menyebut nama Nabi Muhammad SAW.
Setelah Majelis Tarjih terbentuk, gerakan Muhammadiyah mulai menyentuh ranah fiqih dengan menetapkan metodologi istimbath hukum yang dinamis. Pembentukan manhaj tarjih Muhammadiyah tidak serta merta jadi, tetapi berproses seiring dengan perkembangan keilmuan dan dinamika zaman. Pada mulanya pembaharuan keagamaan Muhammadiyah menggunakan dictum “ar-ruju ‘ila al-qur’an wa al hadist”, tetapi setelah perkembangan ilmu hadist berubah menjadi “ ar-ruju ‘ila Al-Quran wa As-sunnah.” Standart Majelis Tarjih dalam menggunakan As-Sunnah sebagai sumber hokum harus As-Sunnah Al-maqbulah.
Jika dahulu para tokoh Muhammadiyah masih menggunakan qunut dalam shalat shubuh, saat ini Majelis Tarjih dengan kekuatan metodologi istimbath hukumnya memutuskan tidak menggunakannya. Dahulu para tokoh Muhammadiyah juga masih menggunakan kata “sayyid” untuk menyebut nama Nabi Muhammad SAW, tapi kini sudah tidak digunakan lagi ( termasuk kultus/ghuluww).
Membaca fakta historis ini, para aktivis dan mubaligh Muhammadiyah tidak perlu risau. Gerakan Muhammadiyah dahulu sebelum terbentuk Majelis Tarjih memang belum menyentuh ranah fiqih karena masih dalam taham membangun organisasi dan jaringan. Setelah Majelis Tarjih terbentuk, gerakan Muhammadiyah baru memasuki wilayah fiqih dengan menghasilkan keputusan keputusan resmi yang berbeda dengan paham keagamaan awam. Pembentukan manhaj tarjih juga lewat proses seiring perkembangan keilmuan dan dinamika zaman. Metodologi istimbath hukum tarjih pun senantiasa berkembang sehingga keputusan-keputusannya akan relevan dengan dinamika zaman.
Sayangnya ada pihak-pihak yang mendramatisir seolah-olah ketika majelis tarjih berbeda dengan kyai dahlan maka majelis tarjih pengkhianat. Mereka lupa bahwa antara Imam Syafii dan ulama syafiiyah pun ada ikhtilaf. Misalkan dalam kitab Imam Syafii yang namanya niat sholat itu di dalam hati, namun ulama-ulama syafiiyah ada yang berbeda pendapat bahwa niat shalat itu baiknya dilafazhkan. Yang jelas kalau majelis tarjih melakukan suatu revisi atau merubah keputusan tentu tidak asal-asalan, melainkan dengan pemikiran yang sangat cermat dan hati-hati. Majelis Tarjih punya manhaj tarjih yang dengannya melakukan istinbath hukum, setiap keputusan yang dikeluarkan tarjih telah melalui prosedur yang sesuai dengan manhaj tarjih.
Namun kami berpendapat bahwa selayaknya Muhammadiyah itu ya dahlaniyah. Muhammadiyah tidak bisa dilepaskan dengan Kyai Dahlan sebagai pendirinya. Hanya pemahaman dahlaniyah disini bukan semata-mata kita mengikuti beliau secara harfiah, namun kita mengikuti spirit yang diajarkan kyai Dahlan dan dilengkapi dengan hasil pemikiran Tarjih. Spirit yang diajarkan kyai Dahlan antara lain rasionalitas dalam beragama serta teologi pembebasan. Takhayul adalah lawan dari rasionalitas dalam berfikir, maka kyai Dahlan sangat mengecam tindakan-tindakan umat Islam yang mengungkung diri dalam takhayul sehingga tidak mau untuk maju. Sebagai ganti dari takhayul maka berfikir rasional adalah suatu keharusan, maka dalam matan ideology Muhammadiyah disebutkan bahwa Muhammadiyah itu adalah bersumber dari Al Quran dan as Sunnah dengan menggunakan akal fikiran yang sesuai dengan spirit ajaran Islam. Berbeda dengan slogan sebagian kawan kita yang berpendapat bahwa al quran dan sunnah harus difahami dengan pemahaman salafush shalih, tidak ada dalam matan resmi ideology Muhammadiyah yang mengatakan seperti itu, namun dalam Muhammadiyah jelas Al Quran dan sunnah itu harus difahami oleh akal fikiran.
Muhammadiyah dikenal sebagai anti terhadap TBC (Takhayul, Bidah dan Churafat), bukan apa-apa, TBC inilah yang membuat umat Islam tidak rasional dalam berfikir dan kurang produktif. Takhayul dan khurafat membuat umat Islam larut dalam mitologi-mitologi sehingga akal fikirannya tidak digunakan. Bidah membuat umat Islam sibuk dengan ibadah yang ditambah-tambahkan sehingga waktu untuk bekerja menjadi khalifah di muka bumi berkurang dan tersita oleh aktifitas-aktifitas bidah. Implikasi dari meninggalkan takhayul dan khurafat adalah berfikir rasional dan implikasi dari meninggalkan bid’ah adalah produktivitas yang tinggi dalam bekerja.
Tarjih dan Tajdid Muhammadiyah ( Merujuk Al Quran dan Sunnah Makbullah ) 

Dalam tulisan ini kami akan sampaikan hasil wawancara dengan Ketua Majelis Tarjih Tajdid PP Muhammadiyah Prof Dr H Syamsul Anwar, MA. yang telah dimuat di Majalah Suara Muhammadiyah Edisi 05 Maret 2014.
Bagi muhammadiyah perubahan perubahan keputusan keputusan yang lain adalah hal yang biasa, termasuk dalam hal fiqih , asalkan berkesesuaian dengan sumber utamanya Alquran dan Sunnah Makbullah. Dalam ibadah mahda harus sesuai dengan apa yang dilakukan Rasulullah (pemurnian). Dan diluar ibadah mahdah dalam rangka dinamisasi masyarakat awam, hal ini sering dipertanyakan. Kenapa demikian? Kenapa ini berbeda dengan yang dahulu?
Untuk lebih jauh mengetahui tentang fiqih muhammadiyah tersebut, lutfi effendi dari suara muhammadiyah ketua majelis tarjih dan tajdid PP Muhammadiyah Prof Dr H Syamsul Anwar, MA. Berikut ini sejumlah penjelasan tentang fiqih Muhammadiyah:
Ada yang mempertanyakan, kenapa fiqih Muhammadiyah sekarang ini berbeda dengan fiqih era KH Ahmad Dahlan. Dulu KH Ahmad Dahlan shalat terawih 20 rakaat, kini 8 rakaat, dulu KH Ahmad Dahlan shalat shubuh pakai qunut, kini tidak, apakah ini berarti sudah melenceng dari ajaran KH Ahmad Dahlan?
Yang perlu dicatat, bahwa fiqih Muhammadiyah sebagaiman fiqih pada umumnya. Itu yang paling pokoknya. Tetapi seperti halnya fiqih-fiqih yang ada. Tentu ada perbedaan di sana sini dengan fiqih yang lain. Fiqih Muhammadiyah itu sesuai dengan identitas Muhammadiyah sebagai gerakan tajdid. Maka dari zaman ke zaman selalu berupaya melakukan tajdid. Karenanya bias saja kajian saat ini berbeda dengan kajian sebelumnya. Apa yang dicapai oleh generasi yang lalu, bias saja diubah oleh generasi berikutnya tentu saja dengan kajian yang lebih dapat di pertanggung jawabkan keabsahan alas an atau dalilnya.
Muhammadiyah dalam hal fiqih tidak merujuk pada seseorang, tetapi murujuk pada dalil-dalil dalam Alquran dan Sunnah Makbullah. Muhammadiyah itu akan terus menerus melakukan kajian, baik itu di bidang ibadah khusus dan akidah ataupun dibidang ibadah social. Karenanya, ketika suatu fiqih telah ditetapkan bias saja di kemudian hari dapat berubah ketika menemukan dalil-dalil yang lebih dapat diterima. Apalagi jika fiqih tersebut belum merupakan keputusan persyarikatan dan masih berupa ajaran ajaran ulama pada saat itu, tentu akan lebih mungkin berubah ajaran tersebut ketika dalam kajian Muhammadiyah menemukan dalil yang lebih tepat dan berbeda dengan ajaran yang selama ini telah berlaku. 
Apa yang dilakukan Muhammadiyah ini, tidak bertentangan dengan ajaran KH Ahmad Dahlan yang juga sudah menjadi identitas Muhammadiyah yaitu ajaran tajdid ini, Muhammadiyah membagi dua bagian atau dengan kata lain tajdid itu mempunyai dua makna Tajdid di bidang ibadah Mahdah atau ibadah Khusus dan juga dalam Aqidah, Muhammadiyah memilih ibadah sebagaimana yang dilakukan dan diajarkan Rasulullah melalui AL-Quran dan Sunnah Makbullah. Langkah ini biasa disebut pemurnian. Sedangkan tajdid dibidang muamalah atau kehidupan social, ini lebih bebas dilakukan. Tajdid dibidang ini kita kenal sebagai dinamisasi kehidupan social kemasyarakatan umat, dan Muhammadiyah sebetulnya pada awalnya lebih dikenal dalam gerakan pembaruaan dibidang social ini.
Jadi selama ini yang dilakukan KH Ahmad Dahlan masih terfokus pada tajdid dibidang social disbanding tajdid dibidang ibadah Mahdlah?
Gerakan tajdid yang dilakukan oleh KH Ahmad Dahlan pada saat itu memang lebih terfokus kepada gerakan tajdid dibidang sosial. Gerakan tajdid ini utamanya dibidang pendidikan yang menyita waktu tersendiri bagi KH Ahmad Dahlan, karena ia harus meletakan dasar-dasarsendiri bersama para pengurus Muhammadiyah pada waktu itu. Yang kesemua gerakannya langsung ditangani Pimpinan pusat. Demikian pula dengan gerakan social yang lain, seperti penyantunan anak yatim dan fakir miskin, masih dilakukan dengan tenaga dan dana yang terbatas.
Karena waktu tenaga dan dana yang terfokus pada bidang-bidang social ini, maka KH Ahmad Dahlan belum sempat melakukan kajian-kajian dibidang ibadah Mahdlah ini. Sehingga apa yang dilakukan kiai masih seperti yang diajarkan atau diterima dari ulama-ulama pendahulunya. Karena memang kajian seperti ini banyak menyita waktu. Kajian-kajian fiqih di bidang ibadah khusus mulai dilakukan ketika tajdid dibidang social sudah mulai tertata. Ide pendirian Majelis Tarjih yang bertugas mengkaji dalam bidang ini muncul tahun 1927 dan b aru terbentuk kepengurusan tahun 1928 yang diketuai oleh KH Mas Mansur. Sejak itu, kajian-kajian yang dilakukan lebih intensif.
Apakah yang dilakukan KH. Ahmad Dahlan dalam meluruskan kiblat shalat dan yang terakhir dalam era Muhammadiyah saat ini dalam penetapan awal bulan itu bukan ibadah mahdlah sehingga ada perbedaan dengan yang lainnya?
Shalat menghadap kiblat itu merupakan ketentuan syar’I untuk melaksanakan shalat sebagai ibadah mahdlah. Tetapi cara penentuan arah kiblatnya bukanlah termasuk ibadah mahdlah. Maka cara penentuan arah kiblat itu di dalam muhammadiyah termasuk dinamisasi kehidupan masyarakat. Caranya bias berubah sesuai dengan perkembangan ilmu pada waktu itu.
Demikian pula cara penentuan awal bulan. Awal bulannya, merupakan syarat syar’I untuk melaksanakan ibadah puasa Ramadhan atau shalat Id Fitri(termasuk ibadah madlah),tetapi penentuan awal bulannya termasuk kategori dinamisasi kehidupan masyarakat. Caranya bisa berubah sesuai dengan perkembangan ilmu pada waktu itu.
Apakah setelah dilakukan kajian-kajian oleh muhammadiyah secara khusus tentang fiqih ini menghasilkan hanya satu keputusan tentang sesuatu?

Di Muhammadiyah ini ada prinsi[ tanawuh fil ibadah atau keberagaman dalam beribadah. Tanawwuh itu artinya pluaritas sepanjang ada contoh dari Rasulullah Muhammad SAW, meski kadang juga ada yang satu keputusan organisasi. Misalnya tentang shalat terawih, keputusan organisasi hanyalah satu yaitu 8 rakaat. Sedangkan pelaksanaannya dilakukan secara tanawwuh (pluaritas) sebagaimana contoh Rasulullah, boleh dua-dua atau empat-empat .contoh lain dalam doa iftitah didalam sholat juga ada beberapa pilihan, Allahumma ba’id atau wajahtu. Itulah pluralitas dalam ibadah, asal ada dasar dari sunnah Rasulullah yang makbullah bisa diterima dan di jalankan sesuai pilihan.
Bahkan karena Muhammadiyah terus menerus melakukan kajian, maka shalat Trawih yang empat rakaat itu juga menimbuilkan pertanyaan, apakah ada tasyahud awal seperti pada shalat wajib empat rakaat atau tidak. Kajian-kajian semacam ini biasa dilakukan Muhammadiyah untuk mencari kesesuaian atau paling sesuai dengan ibadah yang dilakukan Rasulullah/ seperti dalam hal shalat tarawih 8 rakaat, 20 rakaat, 36 rakaat dan 40 rakaat mana yang sesuai.
Ternyata setelah dilakukan kajian secara terus menerus, tidak pernah satu kali pun Rasulullah SAW melakukan shalat tarawih lebih dari 8 rakaat. Demikian pula yang dilakukan para sahabat, bahkan termasuk yang dilakukan Umar bin Khattab tetap 8 rakaat. Tetapi memang Khalifah Umar bin Khatab pernah melakukan penyatuan shalat dalam satu masjid yang tadinya dilakukan secara spordis. Namun demikian rakaatnya tetap 8 rakaat, tidak ditambah-tambah, hanya saja di dalam kajian tentang pelaksanaanya ada beberapa variasi, oleh karena itu Muhammadiyah menetapkan rakaat tarawih 8 rakaat dan pelaksanaannya bisa dilakukan secara tanawwuh( dimungkinkan berbeda antara satu dengan yang lain) dua-dua atau empat empat.

Beberapa referensi lain tentang berubahnya aliran fiqih Muhammadiyah:

Kitab fiqih muhammadiyah terbitan 1343H
Artikel Pendukung yang merefer ke kitab fiqih muhammadiyah:

Madzhab Fikih KH Ahmad Dahlan


Mazhab berasal dari bahasa Arab dzahaba yang artinya (pergi). Secara etimologis mazhab  bisa diartikan “tempat pergi”, jalan. Sedangkan menurut istilah ushul fiqh, mazhab adalah kumpulan pendapat mujtahid yang berupa hukum-hukum Islam, yang digali dari dalil-dalil syariat yang rinci serta berbagai kaidah (qawa’id) dan landasan (ushul) yang mendasari pendapat tersebut dengan saling terkait satu sama lain sebegai satu kesatuan yang utuh.

Syekh Zainuddin Dimyati mendefiniskan madzhab sebagai berikut:’’madzhab adalah hukum dalam berbagai masalah yang diambil, diyakini dan dipilih oleh para imam mujtahid’’.[1] Penjelasn ini juga selaras dengan kitab-kitab klasik yang menerangkan tentang pengertian madzhab dalam fikih.
Sementara itu, fikih berarti (al-Fahmu) yang artinya mengerti. Sebagaimana penjelasan hadis Rasulullah SAW yang artinya:’’Barangsiapa yang Allah kehendaki kebaikan maka akan diberikan pemahaman pada masalah agama.” [2]. Sedangkan makna fiqih dari segi  (terminologis) adalah ilmu yang mempelajari hukum-hukum syariah amaliyah yang diambil dari dalil-dalil yang yang bersumber dari al-Quran dan hadis Rosulullah SAW. Oleh karena itulah ketika membincangkan madzhab tidak akan lepas dari Ijitihad.

Dapat disimpulkan bahwa madzhab dalam fikih fiqih adalah pokok pikiran atau dasar yang digunakan oleh imam mujtahid dalam memecahkan masalah-masalah faruiyah (cabang), bukan masalah qotiyah (pokok), seperti hukum perintah sholat, serta larangan mencuri dan zina. Bermadzhab dalam fikih merupakan sebuah keharusan, karena membawa kemaslahatan yang sangat besar bagi umat islam. Sebab, ulama-ulama yang diikuti, seperti; Imam Abu Hanifah, Malik, Syafii, dan Ibn Hambal merupakan ulama peneliti (ahli tahqiq) dan bagian dari salafussolih.
Dengan kecerdasan, kemampuan ilmu bahasa Arab dan perangkat ilmu linguistic mereka bisa memahami makna Al-Quran dan hadis, baik yang tersurat dan tersuat. Sifat zuhud, tawadu’, wara’, serta kedalam ilmu dan spritualnya , membuat mereka bisa memperoleh kebenaran dalam usahanya merumuskan pendapat dan menggali hukum Al-Quran maupun hadis Rosulullah SAW. Umar Ibn Al-Khattab ra pernah mengatakan:’’ Islam akan hancur gara-gara kelihatan orang munafik dan berdebat menggunakan Al-Quran’’. [3] Ibnu Masud pernah mengatakan:’’barang siapa menjadi pengikut yang baik, hendaknya mengikuti para ulama (geneasai) sebelumnya. Dan Ulama itu memiliki karakter khusus, yaitu memiliki sifat khosyah (takut) kepada Allah SWT. Ulama itu pewaris para nabi.
Jadi, empat madzhab dalam fikih sudah memenuhi syarat untuk di ikuti. Akidah mereka juga sesuai dengan akidahnya Rosulullah SAW dan para sahabat, cara ibadahnya juga sesuai dengan Al-Quran dan hadis Rosulullah SAW, serta sahabat-sahabatnya. Tidak satu-pun madzhab empat yang ada, kecuali telah hafal ribuan hadis baik sanad dan matannya, serta mengerti asbabul wurudnya, sehingga mereka disebut dengan mujtahid mutlaq. Kendati demikian, mereka tetap hati-hati, bahkan mereka tidak merasa lebih baik dari pada yang lainya.
Terkait dengan  Mujtahid Mutlaq, KH Achmad Sidiq mengatakan:’’ yaitu imam atau tokoh agama yang mampu ber-ijtihad/beristimbath sendiri dari Al-Quran dan Al-Sunnah dengan mengunakan methode yang ditemukan/dirumuskan sendiri dan diakui kekuatanya oleh para tokoh agama (imam) lainya. Yang paling terkenal di antara para mujtahid mutlaq ini ialah, imam Maliki, Abu Hanafi, Imam Syafii dan Imam Hambali’’.[4]
Oleh karena itulah, tidak berlebihan jika ulama-ulama Nusantara yang ngaji pada ulama-ulama Makkah dan Madinah selama selama bermukim di Makkah mengikuti emmpat madzhab, khususnya Imam Syafii. Terkait dengan jaringan ulama nusantara (Southeast  Asian Conenection)  di MakkahSecara terang nan gamblang, bahwa ada ulama-ulama hebat, di antaranya; Muhammad Arsad Al-Banjari (1122-1227 H/1710-1812.), Syekh Muhammad Nafis Al-Banjari (1160 H/1735), Syekh  Ahmad Khatib Al-Sambasi, Abdul Karim Al-Bantani (1230 1314 H/1813-1879), Syekh Nawawi Al-Bantani (1230 -1314 H.).[5] Syekh Abdul Karim Al-Banjari, Syekh Ahmad Khotib Minangkabawi, Syekh Mahfud Al-Turmusi, Syekh Muhammad Yasin Al-Fadani, Syekh Abdul Qodir Al-Mandili, Syek Abdul Fattah Rowah (Aceh), Syekh Idris Al-Mandirli, SyekhAbdul Hamid Ali Qudus, dan masih banyak lagi.[6] Abdul Adzim dalam buku Ulama Tanah Haram: Kiprah Ulama Nusantara di Tanah Suci juga menyebutkan kitab-kitab ulama-ulama di atas.
Menariknya, dari sekian banyak ulama nusantara yang pernah menjadi guru dan imam, dan khotib di Masjidilharam Makkah Al-Mukkaramah ber-teologi Al-Syairiyah dan bermadzhab Syafiiyah. Ini terlihat dari biografi-biografi mereka, seperti; Imam Nawawi Al-Bantani, Al-Jawi, Al-Syafii Al-Madzhab, Al-Asyaary Al-I’tiqod.[7] Begitu juga dengan ulama-ulama lainya, selalu disebutkan nama madzhabnya.
Buya Hamka mengatakan:’’bahasa apakah bahasa umum bahasa yang dipakai waktu itu, sebagai bahasa agama, bahasa kebudayaan, bahasa ilmu pengetahuan? Apakah bahasa Malabar atau Koromandil atau Hindustan atau Persia? Orang mesti menjawab dengan terus terang ialah bahasa Arab. Madzhab apakah yang tersebar sejak semula? Ialah madzhab Syafii.[8] Ibn Batuthah, Syekh Zainal Arifin Abbas juga mengatakan apa  yang dikatakan Hamka terkait dengan madzhabnya ulama nusantara.
Apalagi, karya-karya ulama nusantara, mulai kitab akidah, fikih, tasawuf, tidak lepas dari menyebutkan sumber-sumbernya. Kesemuanya membahas tentang madzhab Syafii. Tidaklah berlebihan, jika KH Ahmad Dahlan kemudian ber-teologi Al-Syaairah dan Syafii madzhabnya, sebagaimana dijelaskan oleh Syafii Maarif, dan juga terlihat dari tulisan tangan (fikih KH Ahmad Dahlan). Bahkan, kitab-kitab Putusan Madjlis Tarjih Muhammadiyah juga dengan gamblang dan ceto welo-welo kalau KH Ahmad Dahlan itu menganut madzhab fikihnya Imam Syafii.
Dalam tulisan ini, penulis tidak menydutkan Muhammadiyah, apalagi menyalahkannya. Tulisan ini hanya ingin menyebutkan berdasarkan data tentang teologi dan madzhab KH Ahmad Dalam. Selanjutnya, para pembaca bisa menilai dan merenungkan kembali, jika masih belum menerimanya, para pembaca bisa menelusuri kembali data-data yang disebutkan oleh penulis.
Selanjutnya, jangan sampai Akidah dan Madzhab KH Ahmad Dahlan, serta tradisi-tradisi yang dilakukan KH Ahmad Dahlan, seperti; Tahlilan, dan membaca mauld Nabi, membaca wirid keras, Qunut Subuh dikatakan bidah dhalalah (tersesat), dengan justifikasi bahwa semua bidah itu tertolak dan masuk neraka. Dengan begitu, secara tidak langsung gagasan-gagasan KH Ahmad Dahlan, serta amal ibadahnya tidak diterima, serta menjadi ahli neraka karena melestarikan bidah.
Agar lebih yakin dan mantab, berikut akan di kutip kembali ringkasan dari “Kitab Fiqih Muhammadiyyah ” , diterbitkan penerbit Muhammadiyyah Bagian Taman Poestaka Jogjakarta, jilid III, diterbitkan tahun 1343 H/1925 M , dimana hal ini membuktikan bahwa amaliah KH Ahmad Dahlan dan masyarakat Indonesia pada umumnya tidak berbeda:

1-      Melafadkan Niat Sholat.
Di dalam kitab fikih Al-Syafii yang di tulisa oleh Abu Sujak ‘’Hasiyah Al-Bujairami’’ sang penulis menjelaskan ‘’yustahabbu Al-Yatalaffadho fi Al-Niayat’’ yang artinya (di anjurkan untuk melafadkan niat sholat). Begitu juga Syekh Al-Syairozi dalam kitab Al-Muhaddab beliau mengatakan:’’ jika niat dengan hatinya, tanpa lisanya tidak apa-apa, dan dari sebagain sahabat-sahabat kami, dia mengatakan:’’hendaknya niat dengan hati dan melafazdkan dengan lisan juga tidak apa-apa’’.[9]
Sebenarnya  tidak ada tuntunan lansgung dari Rosulullah SAW untuk melafadzkan niat dengan lisan di dalam niat. Juga tidak ada satupun hadis, atau ayat Al-Quran yang melarangnya. Mengucapkan (melafadzkan niat dengan lisan sebelum takbiratul ihram itu dikiaskan dengan niat puasa, juga niat dalam ibadah haji. Oleh karena itulah, ulama fikih yang bermadzhab Syafii membolehkan melafadzkan niat tersebut.
Melafazdkan niat dengan lisan sebelum takbiratul ihram, seperti membaca “Ushalli fardla dzuhri arba’a raka’atin mustaqbilal kiblati ada’an lillahi ta’ala” (Saya berniat melakukan shalat fardlu dzuhur empat rakaat dengan menghadap kiblat dan tepat pada waktunya semata-mata karena Allah SWT) pada menjelang takbiratul ihram dalam shalat dzuhur adalah sesuatu yang sudah menjadi kebiasaan di kalangan warga NU (nahdliyin), juga oleh KH Ahmad Dahlan (Muhammadiyah) sebelum berdirinya Masjis Tarjih.
Bagi sebagian warga Muhammadiyah sekarang,  melafadzkan niat dengan lisan di anggap aneh, asing, bahkan menjadi sesuatu yang bisa membayakan  sholat. Alasanya, itu tidak ada dalilnya dari Al-Quran dan sunnah Rosulullah SAW. Dengan kata lain, hukumnya adalah bidah, dan bidah itu menurut mereka adalah tersesat dan masuk neraka.
Padahal, cukup banyak kitab fikih yang menjelaskan bahwa hukum melafdzalkan niat shalat pada saat menjelang takbiratul ihram itu dibolehkan. Bahkan  para pengikut mazhab Imam Syafi’i (Syafi’iyah), seperti; Abu Ishak Al-Syairozi dalam kitab Al-Muhaddab, Imam Nawawi dalam kitab Al-Majmu’, Al-Bujairami.  Pengikut madzhab Imam Ahmad bin Hambal (Hanabilah) juga berpendapat bahwa melalafazkan dengan lisan sebelum takbiratul ihram itu sunnah. Alasanya, melafadzlkan niat sebelum takbir dapat membantu untuk mengingatkan hati sehingga membuat seseorang lebih khusyu’ dalam melaksanakan shalatnya.
Masih terkait dengan melafadzkan niat, Imam Romli mengatakan:’’disunnahkan melafalkan niat menjelang takbir (shalat) agar mulut dapat membantu (kekhusyu’-an) hati, agar terhindar dari gangguan hati dank arena menghindar dari perbedaan pendapat yang mewajibkan melafadzkan niat”. (Nihayatul Muhtaj, juz I,: 437).
Menurut pengikut madzhab Imam Malik (Malikiyah) dan pengikut Imam Abu Hanifah (Hanafiyah) bahwa melafadzkan niat shalat sebelum takbiratul ihram tidak disyari’atkan kecuali bagi orang yang terkena penyakit was-was (peragu terhadap niatnya sendiri). Menurut penjelasan Malikiyah, bahwa meladzkan niat shalat sebelum takbir menyalahi keutamaan (khilaful aula), tetapi bagi orang yang terkena penyakit was-was hukum melafadzkan niat sebelum shalat adalah sunnah.
Melafadzlkan niat dalam suatu ibadah wajib, juga pernah dilakukan oleh Rasulullah SAW dan juga pada puasa Ramadhan. Karena sholat itu juga wajib hukumnya, maka para ulama fikih meng-qiyaskan bahwa melafadzkan niat itu juga boleh, tidak dilarang, bahkan diajurkan.
عَÙ†ْ Ø£َÙ†َسٍ رَضِÙŠَ الله عَÙ†ْÙ‡ُ Ù‚َالَ سَÙ…ِعْتُ رَسُÙˆْÙ„َ اللهِ صَÙ„َّÙ‰ الله علَÙŠْÙ‡ِ Ùˆَسَلمَ ÙŠَÙ‚ُÙˆْÙ„ُ Ù„َبَّÙŠْÙƒَ عُÙ…ْرَØ©ً ÙˆَØ­َجًّاً  (رواه مسلم)
“Dari Anas r.a. berkata: Saya mendengar Rasullah saw mengucapkan, “Labbaika, aku sengaja mengerjakan umrah dan haji”.” (HR. Muslim).
Memang ketika Nabi Muhammad SAW melafadzlkan niat itu dalam menjalankan ibadah haji. Tetapi tidak berarti selain haji tidak dibolehkan, atau tidak bisa diqiyaskan (dianalogikan) sama sekali atau bahkan ditutup sama sekali untuk melafadzlkan niat. Jika diteliti dengan baik, tidak ditemukan satu hadis, atau Al-Quran yang melarang melafadzkan niat. Kalaupun ada yang melarang bahkan membidahkan (menyesatakan), kemudian menhukumi masuk neraka, dengan alasan Rosulullah SAW itu tidak pernah melakukan, maka alasan ini sama dengan memaksakan dalil yang tidak sesuai dengan tempatnya.
Memaksakan dalil yang tidak pada tempatnya, bisa di artikan bidah juga karena Rosulullah SAW dan para sahabat juga tidak pernah melakukanya. Apalagi pengertian bidah itu hanya diartikan hanya merujuk pada semua yang tidak pernah diucapan, dilakukan, tidak dapat persetjuan Rosulullah SAW. Dengan demikian, apa-pun yang tidak pernah dilakukan, perintah, ucapan Nabi SAW termasuk bidah (tersesat).
Terkait dengan masalah niat, para ulama fiqh berpendapat terkait dengan diwajibkan niat pada setiap ibadah, baik itu ibadah mahdhad atau ghoiru mahdhah. Rosulullah SAW mengatakan:’’sesungguhnya amal perbuatan itu harus dengan niat (HR Bukhori). Sedangkan tempatnya niat itu di dalam hati, dan melafazdkan dengan lisan itu dianjurkan, bagi ibadah haji itu diwajibkan.
Para ulama fikih juga berpendapat terkait dengan melafadzkan niat dengan lisan itu ada dua perkara. (1) Uuntuk membedakan antara ibadah dengan kebiasaan (adat), seperti membedakan orang yang beri’tikaf di masjid dengan orang yang beristirah di masjid. (2)untuk membedakan antara suatu ibadah dengan ibadah lainnya, seperti membedakan antara shalat Dzuhur dan shalat ‘Ashar. Sedangkan hukum melafalkan niat adalah sunnah. Artinya, jika dilaksanakan mendapatkan pahala, jika tidak dilakukan (ditingglakan) tidak apa-apa. Imam Ramli mengatakan:
Dalam hal ini, KH Ahmad Dahan serta ulama-ulama semasanya bukanlah sekedar ulama, beliau benar-benara memahami agama dan cabang-cabangnya dengan baik. Al-Quran, hadis merupakan sandaranya utama KH Ahmad Dahlan. Apalagi, Rodhi Al-Hafidz dalam artikelnya menulis bahwa tarjih merupakan suatu pendekatan dalam pemberian fatwa terhadap masalah-masalah yang berhubungan erat dengan akidah Islamiyah, Ibadah dan Muamalah. Persolan terkait dengan masalah waqiiyah dalam masyarakat, khususnya yang menjadi persoalan umat, perlu di telusuri hinga ke-akar-akarnya berdasarkan sumber rabbaniyahnya.
Upaya tersebut tentu saja dilakukan dengan merujuk langsung kepada ayat-ayat Al-quran dan Al-Sunnah. Ulumul Quran dan tafsir, ulumu Al-Hadis dan Syarah, fikih dan usul fikih, sejarah Rosul dan sahabat-sahabatnya, usuluddin dan tasawwuf, serta bahasa Arab dan cabang-cabangnya, merupakan ilmu-ilmu agama islam yang dijadikan sebagai pedoman Majlis Tarjih dalam memberikan fatwa terhadap persoalan umat.[10]
Pernyataan Rhodi Al-Hafid itu sekaligus mempertegas bahwa melafadzkan niat sebelum takbiratul ihram itu berdasarkan pendapat ulama fikih yang bisa diterima (dibolehkan), bukan bidah yang tersesat. Ulama-ulama yang diikuti pendapatnya oleh KH Ahmad Dahlan juga bukan ulama-ulama biasa melainkan ulama yang berkualitas dari segi ilmu, ibadah, zuhud, serta kedalaman dan ketajaman spritualnya. Apalagi, ulama yang dijadikan rujukan utama dalam masalah fikih adalah Imam Syafii, Imam Malik, Ibn Hambal, Imam Nawawi, Al-Syairozi. Jadi, niat melafadzkan niat sebelum takbiratul ihram dengan mengucapkan lafadz: “Ushalli Fardhu’’ dalam fikih KH Ahmad Dahlan bukan bidah (tersesat), karena dikiaskan (dianalogikan) dengan Ibadah haji dan puasa. ” (halaman 25).
Jika Muhammadiyah saat ini mengecam dengan memberikan hukum ‘’bidah’’ dengan artian sesat (masuk nereka) bagi orang yang melafadzkan niat sebelum takbiratul ihram, maka KH Ahmad Dahlan termasuk ahli bidah  yang tidak layak dijadikan panutan. Juga semua gagasan, fikiran, serta karyanya tidak bisa dijadikan rujukan oleh pengikut Muhammadiyah. Jika tetap mengunakannya, maka itu di ibaratkan menggunakan gagasan ahli neraka (bidah). Untuk itulah, Imam Syafii berbendapat bahwa bidah itu dibagi menjadi dua, bidah hasanah (positif) dan bidah sayyiah (negative).
Tidak ada satupun keterangan dari Al-Quran atau yang bersumber dari Rosulullah SAW, kalau bidah itu hanya dikhususkan pada masalah agama saja, sementara dalam urusan muamalah itu tidak bidah. Kalaupun ada yang berpendapat begitu, sesungguhnya itu sebuah pendapat yang sifatnya juga mengada-ngada (bidah), dengan tujuan agar apa yang dilakukan terkait dengan muamalahnya tidak dikatakan bidah.

2-      Membaca surat al-Fatihah memakai bacaan: “Bismillahirrahmanirrahim” (halaman 2).
Salah satu perbedaan yang menonjol antara Muhammadiyah dan Nahdhotul Ulama yaitu membaca surat Al-Fatihah dengan basmallah secara jahran (keras) dan samar. Perbedaan itu sekaligus menjadi pembeda antara dua ormas besar di negeri ini. Jauh sebelum munculnya Majlis Tarjih, KH Ahmad Dahlan dan ulama-ulama semasanya ketika sholat fardu terbiasa melafadzkan niat sebelum takbiratul ihram dan juga membaca basmalah dengan keras (jahr).
Di dalam kitab fikih KH Ahmad Dahlan, beliau juga menyebutkan dengan jelas bahwa membaca surat Al-Fatihah dengan membaca Bismillahirahmanirahim. Dalam kitab tafsir Rowaiu Al-Bayan, Syekh Muhammad Ali Al-Shobuni berpendapat bahwa bismillah itu bagian dari surat Al-Fatihah yang harus dibaca secaara keras. Oleh karena itulah cara membacanya juga harus keras. Dibelahan Negara-negara islam, khususnya pengikut madzhab Syafii selalu membaca basmallah dengan keras.
Sedangkan di Arab Saudi yang mengikuti madzhab Hambali juga membaca basmallah, tetapi dengan sura tidak keras (samar).  Syekah Sholih Ibn Humaid, Imama dan Khotib Masjidilharam ketika menjadi Imam Sholat subuh selalu membaca basmalah dengan samar, tetapi semua jamaahnya mendengar suara basmalah itu. Ini menjadi sebuah bukti bahwa membaca Basmalah bagian dari surat Al-Fatihah.
Ditulis oleh : Ustadz  Abdul Adzim Irsad


[1] . KH Muhyidin Abdussomad. 2008. Hujjah NU: Akidah, Amaliyah, Tradisi (KAJI-Manteb)   Hlm 47
[2] . HR Bukhori dan Muslim.
[3] . KH  Abdul Muhith Muzaddi.2006. NU Dalam Perspektif Sejarah dan Ajaran ( Khalista- Surabaya) Hlm 126
[4] . KH Ahcmad Siddiq. 2006. Khittah Nahdliyah (Khalista-Surabaya) Hlm 48
[5] .  Dr. Azyumardi Azra. 2006. Renaisans Islam Asia Tenggara (PT. Rosda Karya-Bandung) hlm 149
[6] . Abdul Adzim Irsad. 2013. Ulama Tanah Haram: Kiprah Ulama Nusantara di Tanah Suci (Indie- Malang).
[7] . Imam Nawawi Al-Bantani Al-Jawi. 2011. Tanqikhu al-Qoul Al-Khasis fi Sarhi Lubabi Al-Hadis (Darul Qutub Al-Islamiyah)  hlm 6
[8] .KH Siradjuddin Abbas. 2005. 40 Masalah Agama, jilid 2 (Pustaka Tarbiyah-Jakarta) hlm 2006
[9] .Syekh Abu Ishak Al-Syairozai. 1995. Al-Muhaddab fi Fiqhi Al-Imam Syafii (Darul Qutub Ilmiyah-Beirut)  hlm 1/134
[10] . Prof.Dr.Hj. Siti Chamamah Soeratno, et,al.2009. Muhammadiyah: Sebagai Gerakan Seni dan Budaya Suatu Warisan Intelektual yang Terlupakan (Pustaka Pelajar- Jokjakarta) hlm 31
Catatan: Sumber Kitab Fikih jilid 3 KH Ahmad Dahlan, dan Putusan Madjlis Tardjih Muhammadiyah 1969

KH Ahmad Dahlan Faham Fiqihnya Ternyata Sama dengan Fiqih NU



http://www.islam-institute.com/kh-ahmad-dahlan-faham-fiqihnya-ternyata-sama-dengan-fiqih-nu.html

 

Guru dan amaliyah KH Ahmad Dahlan ( Muhammadiyah ) dan KH Hasyim Asy’ari (NU) adalah sama tiada perbedaan. Tulisan kali ini hendak mempertegas tulisan kami yang telah lalu berjudul Sejarah Awal Muhammadiyah yang Terlupakan”, dimana banyak dari kita belum tahu atau sengaja melupakan sejarah awal Muhammadiyah.

Secara ringkas kami katakan bahwa, KH Ahmad Dahlan (pendiri Muhammadiyah pada 18 November 1912/8 Dzull Hijjah 1330) dengan KH Hasyim Asy’ari (pendiri NU pada 31 Januari 1926/16 Rajab 1344) adalah satu sumber guru dengan amaliah ubudiyah yang sama. Bahkan keduanya pun sama-sama satu nasab dari Maulana ‘Ainul Yaqin (Sunan Giri).
Berikut kami kutip kembali ringkasan “Kitab Fiqih Muhammadiyah, diterbitkan penerbit Muhammadiyah Bagian Taman Poestaka Jogjakarta, jilid III, diterbitkan tahun 1343 H/1925 M, dimana hal ini membuktikan bahwa amaliah kedua ulama besar di atas tidak berbeda:
1. Niat shalat memakai bacaan lafadz: “Ushalli Fardha…” (halaman 25).
2. Setelah takbir membaca: “Allahu Akbar Kabiran Walhamdulillahi Katsira…” (halaman 25).
3. Membaca surat al-Fatihah memakai bacaan: “Bismillahirrahmanirrahim” (halaman 26).
4. Setiap shalat Shubuh membaca doa Qunut (halaman 27).
5. Membaca shalawat dengan memakai kata: “Sayyidina”, baik di luar maupun dalam shalat (halaman 29).
6. Setelah shalat disunnahkan membaca wiridan: “Istighfar, Allahumma Antassalam, Subhanallah 33x, Alhamdulillah 33x, Allahu Akbar 33x” (halaman 40-42).
7. Shalat Tarawih 20 rakaat, tiap 2 rakaat 1 salam (halaman 49-50).
8. Tentang shalat & khutbah Jum’at juga sama dengan amaliah NU (halaman 57-60).
KH Ahmad Dahlan sebelum menunaikan ibadah haji ke tanah suci bernama Muhammad Darwis. Seusai menunaikan ibadah haji, nama beliau diganti dengan Ahmad Dahlan oleh salah satu gurunya, as-Sayyid Abubakar Syatha ad-Dimyathi, ulama besar yang bermadzhab Syafi’i.
Jauh sebelum menunaikan ibadah haji, dan belajar mendalami ilmu agama, KH Ahmad Dahlan telah belajar agama kepada asy-Syaikh KH. Shaleh Darat Semarang. KH. Shaleh Darat adalah ulama besar yang telah bertahun-tahun belajar dan mengajar di Masjidil Haram Makkah.
Di pesantren milik KH. Murtadha (sang mertua), KH. Shaleh Darat mengajar santri-santrinya ilmu agama, seperti kitab al-Hikam, al-Munjiyyat karya beliau sendiri, Lathaif ath-Thaharah, serta beragam ilmu agama lainnya. Di pesantren ini, Mohammad Darwis bertemu dengan Hasyim Asy’ari. Keduanya sama-sama mendalami ilmu agama dari ulama besar Syaikh Shaleh Darat.
Waktu itu, Muhammad Darwis berusia 16 tahun, sementara Hasyim Asy’ari berusia 14 tahun. Keduanya tinggal satu kamar di pesantren yang dipimpin oleh Syaikh Shaleh Darat Semarang tersebut. Sekitar 2 tahunan kedua santri tersebut hidup bersama di kamar yang sama, pesantren yang sama dan guru yang sama.
Dalam keseharian, Muhammad Darwis memanggil Hasyim Asy’ari dengan panggilan “Adik Hasyim”. Sementara Hasyim Asy’ari memanggil Muhammad Darwis dengan panggilan “Mas atau Kang Darwis”.
Selepas nyantri di pesantren Syaikh Shaleh Darat, keduanya mendalami ilmu agama di Makkah, dimana sang guru pernah menimba ilmu bertahun-tahun lamanya di Tanah Suci itu. Tentu saja, sang guru sudah membekali akidah dan ilmu fikih yang cukup. Sekaligus telah memberikan referensi ulama-ulama mana yang harus didatangi dan diserap ilmunya selama di Makkah.
Puluhan ulama-ulama Makkah waktu itu berdarah Nusantara. Praktek ibadah waktu itu seperti wiridan, tahlilan, manaqiban, maulidan dan lainnya sudah menjadi bagian dari kehidupan ulama-ulama Nusantara. Hampir semua karya-karya Syaikh Muhammad Yasin al-Faddani, Syaikh Muhammad Mahfudz at-Turmusi dan Syaikh Khaathib as-Sambasi menuliskan tentang madzhab Syafi’i dan Asy’ariyyah sebagai akidahnya. Tentu saja, itu pula yang diajarkan kepada murid-muridnya, seperti KH Ahmad Dahlan, KH Hasyim Asy’ari, KH Wahab Hasbullah, Syaikh Abdul Qadir Mandailing dan selainnya.
Seusai pulang dari Makkah, masing-masing mengamalkan ilmu yang telah diperoleh dari guru-gurunya di Makkah. Muhammad Darwis yang telah diubah namanya menjadi Ahmad Dahlan mendirikan persarikatan Muhammadiyyah. Sedangkan Hasyim Asy’ari mendirikan NU (Nahdlatul Ulama). Begitulah persaudaraan sejati yang dibangun sejak menjadi santri Syaikh Shaleh Darat hingga menjadi santri di Tanah Suci Makkah. Keduanya juga membuktikan, kalau dirinya tidak ada perbedaan di dalam urusan akidah dan madzhabnya.
Saat itu di Makkah memang mayoritas bermadzhab Syafi’i dan berakidahkan Asy’ari. Wajar, jika praktek ibadah sehari-hari KH Ahmad Dahlan persis dengan guru-gurunya di Tanah Suci. Seperti yang sudah dikutipkan di awal tulisan, semisal shalat Shubuh KH Ahmad Dahan tetap menggunakan Qunut, dan tidak pernah berpendapat bahwa Qunut sholat subuh Nabi Muhammad Saw adalah Qunut Nazilah. Karena beliau sangat memahami ilmu hadits dan juga memahami ilmu fikih.
Begitupula Tarawihnya, KH Ahmad Dahlan praktek shalat Tarawihnya 20 rakaat. Penduduk Makkah sejak berabad-abad lamanya, sejak masa Khalifah Umar bin Khattab Ra., telah menjalankan Tarawih 20 rakaat dengan 3 witir, sehingga sekarang. Jumlah ini telah disepakati oleh sahabat-sahabat Nabi Saw. Bagi penduduk Makkah, Tarawih 20 rakaat merupakan ijma’ (konsensus kesepakatan) para sahabat Nabi Saw.
Sedangkan penduduk Madinah melaksanakan Tarawih dengan 36 rakaat. Penduduk Makkah setiap pelaksanaan Tarawih 2 kali salaman, semua beristirahat. Pada waktu istirahat, mereka mengisi dengan thawaf sunnah. Nyaris pelaksanaan shalat Tarawih hingga malam, bahkan menjelang Shubuh. Di sela-sela Tarawih itulah keuntungan penduduk Makkah, karena bisa menambah pahala ibadah dengan thawaf. Maka bagi penduduk Madinah untuk mengimbangi pahala dengan yang di Makkah, mereka melaksanakan Tarawih dengan jumlah lebih banyak.
Jadi, baik KH Ahmad Dahlan dan KH Hasyim Asy’ari tidak pernah ada perbedaan di dalam pelaksanaan ubudiyah. Ketua PP. Muhammdiyah, Yunahar Ilyas pernah menuturkan: KH Ahmad Dahlan pada masa hidupnya banyak menganut fiqh madzhab Syafi’i, termasuk mengamalkan Qunut dalam shalat Shubuh dan shalat Tarawih 23 rakaat. Namun, setelah berdirinya Majelis Tarjih pada masa kepemimpinan KH Mas Manshur, terjadilah revisi-revisi, termasuk keluarnya Putusan Tarjih yang menuntunkan tidak dipraktekkannya doa Qunut di dalam shalat Shubuh dan jumlah rakaat shalat Tarawih yang sebelas rakaat.”
Sedangkan jawaban enteng yang dikemukan oleh dewan tarjih saat ditanyakan: “Kenapa ubudiyyah (praktek ibadah) Muhammadiyyah yang dulu dengan sekarang berbeda?” Alasan mereka adalah karena “Muhammadiyyah bukan Dahlaniyyah”.
Masihkah diantara kita yang gemar mencela dan mengata-ngatai amaliah-amaliah Ahlussunnah wal Jama’ah Nahdlatul Ulama sebagai amalan bid’ah, musyrik dan sesat?
Tentang kebenaran kitab ini merupakan karya KH Ahamd Dahlan bisa Anda dengarkan dalam taushiyah klarifikasi al-Habib Novel bin Muhammad Alaydrus berikut ini:
https://ia601004.us.archive.org/25/items/majelisdiklaten/HabibNaufalBinMuhammadAlaydrus23November2013DiTambakboyopedanKeluargaSakinahDanPerbanyakDzikir.mp3
Tulisan-tulisan yang telah lalu silahkan dibaca ulang di link berikut:
• https://www.facebook.com/photo.php?fbid=418297278260950
• https://www.facebook.com/photo.php?fbid=395924917164853
Sya’roni As-Samfuriy, Tegal 16 September 2013

Mengenal Akidah Dan Fiqih Sang Pencerah KH Ahmad Dahlan

http://www.elhooda.net/2014/03/mengenal-akidah-dan-fiqih-sang-pencerah-kh-ahmad-dahlan/


KH Ahmad Dahlan sebagai ulama, intelektual yang memiliki wawasan kebangsaan yang luar biasa dianggab sebagai sang Mujaddid (pembaharu). Gagasan-gagasan KH Ahmad Dahlan dianggab oleh sebagian orang-orang Muhammadiyah sebagai sesuatu yang memberikan pencerahan, yaitu usaha kembali memurnikan ajaran Islam. Sebab, akidah umat Islam nusantara, khususnya tanah Jawa tidak sesuai dengan akidah, terkontaminasi dengan TBC (Tahayyul, Bidah, dan Khurafat). Inilah yang menjadi alasan kalangan pengikut Muhammadiyah, sehingga umat Islam nusantara perlu diluruskan.
Jika dikaji dan ditelurusi lebih dalam, ternyata akidah KH Ahmad Dahlan itu sama dengan keyakinan guru-gurunya, seperti Syekh Sholih Darat, Sayyed Abu Bakar Shata, Syekh Ahmad Khotib Minangkabawi. Apalagi, buku tulisan tangan Arab Pego KH Ahmad Dahlan juga mengisaratkan kalau beliau ber-akidah Asy’ariyah dan Maturidiyah. Begitu juga dengan karya-karya ulama klasik, seperti Syekh Sirajudin Abbas, juga mengisaratkan bahwa akidah dan madzhab KH Ahmad Dahlan itu sama dengan guru-gurunya. Bahkan, madzhab fikih beliau juga jelas mengikuti Imam Syafi’i.
Apalagi kitab-kitab manuskprip (tulisan tangan KH Ahmad Dahlan) masih ada, dan bisa dibaca hingga saat ini. Itu bisa menjadi bukti otentik, bahwa KH Ahmad Dahlan itu akidahnya Asy’ariyah  dan Maturidiyah, sedangkan Madzhabnya mengikuti Imam Al-Syafi’i. Dengan begitu, anggapan bahwa akidahnya KH Ahmad Dahlan itu selaras dengan Syekh Abduh, Syekh Abdul Wahhab, Ibn Taimiyah, dan Ibn Qoyyim Al-Jaziyah bisa dipatahkan. Semua itu terkesan di paksakan, agar terasa berbeda dengan gerakan Nahdliyah (NU).
Jika KH Ahmad Dahlan (Muhammadiyah) di anggap mengikuti pemikiran Abduh, yang menurut kajian Harun Nasution adalah ‘’neo-Mu’tazilah’’.[1]  Anggapan ini salah kaprah, bahkan terkesan mengada-ngada, dalam istilah bahasa Arab disebut dengan Bidah Pemikiran Muhammadiyah. Arbiyah Lubis dalam disertasinya membuktikan, bahwa sepanjang persoalan teologi (akidah), Muhammadiyah tidaklah mengikuti Abduh sama sekali (Syafii Maarif:13). Lubis berkesimpulan bahwa tidak ada kesamaan di antara keduanya.
Muhammad Abduh bersifat rasional yang lebih dekat dengan Mu’tazilah, sedangkan teologi KH Ahmad Dahlan (Muhammadiyah) bersifat tradisonal, lebih dekat dengan teologi Asy’ariyah.[2] Dengan demikian, antara Muhammadiyah dan Nahdlatul Ulama’ itu memiliki kesamaan di dalam masalah akidah (teologi).
Apalagi jika melihat beberapa kitab Himpunan Putusan Madjlis Tardjih Muhammadiyah, thn, 1968-1969. Dalam kitab tersebut, Madjlis Tardjih Muhammadiyah mengambil dan menukil salah nama ulama besar yang ber-teologi Asya’riyah, yaitu Syekh Abu Mansur Al-Bagdadi.[3] Dalam catatan Putusan Dewan Tardjih Muhammadiya di tulis: ’’Berkata Abu Mansur Bagdadi di dalam kitab Al-Farqu baina Al-Firoq, muka (6).[4] Lebih lanjut lagi dijelaskan bahwa Nabi SAW mengatakan:
’’Sesungguhnya orang-orang Bani Israil itu telah telah berpecah belah menjadi 71 golongan, dan umatku nanti akan berpecah belah menjadi 72 golongan, kesemuanya itu dalam Neraka, kecuali satu golongan’’.[5]
Antara informasi yang berkembang dan realitas dalam tulisan KH Ahmad Dahlan tidak sesuai. Dengan demikian, ada orang-orang terntentu atau usaha secara tersembunyi yang di lakukan secara sengaja merubah ajaran KH Ahmad Dahlan serta tata cara ibadahnya (Madzhab). Tujuan utamanya ialah karena ada unsur politik, artinya jangan sampai antara KH Ahmad Dahlan dan KH Hasyim Asy’ari bersatu. Sebab, persatuan antara dua kekuatan Islam yang besar itu bisa menjadikan Indonesia menggunakan syariat Islam.
Dengan begitu, bagaimana supaya dua kekuatan Nahdlatul Ulama dan Muhammadiyah tetap terkesan berbeda dan bersembarangan akidah dan tata cara ibadahnya. Khususnya masalah amaliyah ubudiyah sehari-hari. Qunut, Dua Adzan Jumat, bacaan Basmalah dalam surat Al-Fatihah, sholat Tarawih 20 rakaat, ziarah kubur, tahlilan, dan istighosahan. Padahal, KH Ahmad Dahlan melakukanya, sementara para pengikutnya justru menganggab itu semua bidah (mengada-ngada) alias tersesat.
Rupanya, golongan tertentu itu sengaja melestarikan perberbedaan itu, dengan tujuan agar kedua kelompok itu terus bertengkar dan selamanya bersebarangan. Sebab, jika kedua kelompok, antara Muhammadiyah (KH Ahmad Dahlan) dan KH Hasyim Asaary (Nahdhatul Ulama’) itu bersatu, maka kekuatan Islam di negeri ini akan kuat dan tidak mungkin dikalahkan oleh kekuatan politik mana-pun. Sebisanya mungkin, antara gagasan KH Ahmad Dahlan dan Gagasan KH Hasyim Asy’ari terus menerus diangkat agar para pengikutnya semakin panas, kemudian saling bertikai (www.wisatahaji.com).
Tulisan dari ringkasan naskah Membumikan Gagasan KH Ahmad Dahlan yang ditulis oleh Abdul Adzim Irsad.
Referensi:
[1] . Syafii Maarif. Dr. 2000. Hubungan Muhammadiyah dan Negara: Tinjauan Telogis. Yang di tulis dalam buku Rekontruksi Gerakan Muhammadiyah pada Era Multiperadaban (UII Press-Jokjakarta) hlm 13
[2] . Syafii Maarif. Dr. 2000. Hubungan Muhammadiyah dan Negara: Tinjauan Telogis. Yang di tulis dalam buku Rekontruksi Gerakan Muhammadiyah pada Era Multiperadaban (UII Press-Jokjakarta) hlm 13
[3] . Abu Mansur Abd Qahir bin Tahir Al-Baghdadi (m.429/1037). Beliau salah satu dari sekian ulama yang ber-teologi Al-Asyairah yang membela sunnah Rosulullah SAW atas serangan-serangan Mu’tazilah dan Syiah.
[4] . Himpunan Putusan Madjils Tardjih Muhammadiyah.1969. Ditanfidzkan dan diterbitkan oleh Pimpinan Pusat Muahammadiyah) hlm 21
[5] (HR Tirmidzi).

Kitab Fiqh Muhammadiyah Awal

http://muhammadiyahstudies.blogspot.com/2013/07/kitab-fiqh-muhammadiyah-awal.html



BUKU KITAB FIQH JILID TELU, yang dikarang dan diterbitkan oleh MUHAMMADIYYAH bagian TAMAN PUSTAKA Djokjakarta, terbit tahun 1343 Hijriyyah.

setelah membaca buku tersebut.... DAPAT DISIMPULKAN antara NU dan Muhammadiyyah, dari sisi amaliyahnya itu dulunya sama. antara lain : 1. bacaan iftitah, 2. sholawat yang menggunakan SAYYIDINA, 3. dzikir setelah sholat, DLL.

1. dalam bab WACAN SHOLAT LAN MA'NANE halaman 25, bacaan IFTITAH-nya KABIROWWALHAMDULILLAHI KATSIRO.... bukan ALLOHUMMA BAA'ID....

2. pada halaman 26 Fatihah menggunakan BASMALAH....

3. dalam halaman 29, sholawat yang dibaca dalam tahiyyat menggunakan SAYYIDINA

semua itu dipertegas dalam BAB PIRANGANE RUKUNE SHOLAT halaman 31-33. kecuali masalah sholawat. di bab ini dijelaskan sholawat adalah allohumma sholli 'ala Muhammad. hemat saya, penjelasan itu sekedar menunjukkan bahwa bacaan sholawat itu cukup dengan ALLOHUMMA SHOLLI 'ALAA MUHAMMAD, bukan membid'ahkan sayyidina....

dipertegas lagi dalam rukun hutbah halaman 57, membaca sholawat menggunakan sayyidina.

4. di halaman 27 dijelaskan adanya QUNUT dengan Dow ALLOHUMMAHDINII.....

5. halaman 57 khutbah jum'at, dua kali.

6. dzikir ba'da sholat pada halaman 40-42, dengan bacaan sbb:

- astaghfirullohah adziim alladzii paar ilaaha illa huwal hayyul qoyyuum waatuubu ilaiih... 3 Kali

- allohumma antassalam.... 3 Kali

- subhaanalloh 33 Kali

- allohu Akbar 33 Kali

- alhamdulillah 33 kali

YANG MEMBUTUHKAN BUKUNYA SILAHKAN

Download

Retrieved from: http://pustaka-darulhikmah.blogspot.com/2013/05/kitab-fiqh-muhammadiyyah.html

Catatan: Tradisi fiqh di Muhammadiyah sebelum 1929 memang tak berbeda jauh dr tradisi di NU. Jadi, buku itu tak terlalu mengejutkan (justru mengokohkan pandangan yg selama ini beredar). Perubahan di muhammadiyah itu terjadi, diantaranya, krn pengaruh Haji Rasul (dan Muhammadiyah Sumatra Barat) yg cukup menentukan corak pemahaman fiqh Muhammadiyah. Adagium yg cukup dikenal: Muhammadiyah lahir di Yogya, tapi secara ideologi dibentuk di Sumatra Barat. Peacock sudah pernah membahas persoalan ini. Pembentukan Majlis Tarjih di sekitar tahun 1928 juga mengokohkan pergeseran ini. Pendeknya, fiqh bukan menjadi concern utama Muhammadiyah awal, mereka lebih sibuk pada feeding (panti asuhan), healing (rumah sakit), & schooling (sekolah).