Sunday, February 1, 2015

Madzhab Fikih KH Ahmad Dahlan


Mazhab berasal dari bahasa Arab dzahaba yang artinya (pergi). Secara etimologis mazhab  bisa diartikan “tempat pergi”, jalan. Sedangkan menurut istilah ushul fiqh, mazhab adalah kumpulan pendapat mujtahid yang berupa hukum-hukum Islam, yang digali dari dalil-dalil syariat yang rinci serta berbagai kaidah (qawa’id) dan landasan (ushul) yang mendasari pendapat tersebut dengan saling terkait satu sama lain sebegai satu kesatuan yang utuh.

Syekh Zainuddin Dimyati mendefiniskan madzhab sebagai berikut:’’madzhab adalah hukum dalam berbagai masalah yang diambil, diyakini dan dipilih oleh para imam mujtahid’’.[1] Penjelasn ini juga selaras dengan kitab-kitab klasik yang menerangkan tentang pengertian madzhab dalam fikih.
Sementara itu, fikih berarti (al-Fahmu) yang artinya mengerti. Sebagaimana penjelasan hadis Rasulullah SAW yang artinya:’’Barangsiapa yang Allah kehendaki kebaikan maka akan diberikan pemahaman pada masalah agama.” [2]. Sedangkan makna fiqih dari segi  (terminologis) adalah ilmu yang mempelajari hukum-hukum syariah amaliyah yang diambil dari dalil-dalil yang yang bersumber dari al-Quran dan hadis Rosulullah SAW. Oleh karena itulah ketika membincangkan madzhab tidak akan lepas dari Ijitihad.

Dapat disimpulkan bahwa madzhab dalam fikih fiqih adalah pokok pikiran atau dasar yang digunakan oleh imam mujtahid dalam memecahkan masalah-masalah faruiyah (cabang), bukan masalah qotiyah (pokok), seperti hukum perintah sholat, serta larangan mencuri dan zina. Bermadzhab dalam fikih merupakan sebuah keharusan, karena membawa kemaslahatan yang sangat besar bagi umat islam. Sebab, ulama-ulama yang diikuti, seperti; Imam Abu Hanifah, Malik, Syafii, dan Ibn Hambal merupakan ulama peneliti (ahli tahqiq) dan bagian dari salafussolih.
Dengan kecerdasan, kemampuan ilmu bahasa Arab dan perangkat ilmu linguistic mereka bisa memahami makna Al-Quran dan hadis, baik yang tersurat dan tersuat. Sifat zuhud, tawadu’, wara’, serta kedalam ilmu dan spritualnya , membuat mereka bisa memperoleh kebenaran dalam usahanya merumuskan pendapat dan menggali hukum Al-Quran maupun hadis Rosulullah SAW. Umar Ibn Al-Khattab ra pernah mengatakan:’’ Islam akan hancur gara-gara kelihatan orang munafik dan berdebat menggunakan Al-Quran’’. [3] Ibnu Masud pernah mengatakan:’’barang siapa menjadi pengikut yang baik, hendaknya mengikuti para ulama (geneasai) sebelumnya. Dan Ulama itu memiliki karakter khusus, yaitu memiliki sifat khosyah (takut) kepada Allah SWT. Ulama itu pewaris para nabi.
Jadi, empat madzhab dalam fikih sudah memenuhi syarat untuk di ikuti. Akidah mereka juga sesuai dengan akidahnya Rosulullah SAW dan para sahabat, cara ibadahnya juga sesuai dengan Al-Quran dan hadis Rosulullah SAW, serta sahabat-sahabatnya. Tidak satu-pun madzhab empat yang ada, kecuali telah hafal ribuan hadis baik sanad dan matannya, serta mengerti asbabul wurudnya, sehingga mereka disebut dengan mujtahid mutlaq. Kendati demikian, mereka tetap hati-hati, bahkan mereka tidak merasa lebih baik dari pada yang lainya.
Terkait dengan  Mujtahid Mutlaq, KH Achmad Sidiq mengatakan:’’ yaitu imam atau tokoh agama yang mampu ber-ijtihad/beristimbath sendiri dari Al-Quran dan Al-Sunnah dengan mengunakan methode yang ditemukan/dirumuskan sendiri dan diakui kekuatanya oleh para tokoh agama (imam) lainya. Yang paling terkenal di antara para mujtahid mutlaq ini ialah, imam Maliki, Abu Hanafi, Imam Syafii dan Imam Hambali’’.[4]
Oleh karena itulah, tidak berlebihan jika ulama-ulama Nusantara yang ngaji pada ulama-ulama Makkah dan Madinah selama selama bermukim di Makkah mengikuti emmpat madzhab, khususnya Imam Syafii. Terkait dengan jaringan ulama nusantara (Southeast  Asian Conenection)  di MakkahSecara terang nan gamblang, bahwa ada ulama-ulama hebat, di antaranya; Muhammad Arsad Al-Banjari (1122-1227 H/1710-1812.), Syekh Muhammad Nafis Al-Banjari (1160 H/1735), Syekh  Ahmad Khatib Al-Sambasi, Abdul Karim Al-Bantani (1230 1314 H/1813-1879), Syekh Nawawi Al-Bantani (1230 -1314 H.).[5] Syekh Abdul Karim Al-Banjari, Syekh Ahmad Khotib Minangkabawi, Syekh Mahfud Al-Turmusi, Syekh Muhammad Yasin Al-Fadani, Syekh Abdul Qodir Al-Mandili, Syek Abdul Fattah Rowah (Aceh), Syekh Idris Al-Mandirli, SyekhAbdul Hamid Ali Qudus, dan masih banyak lagi.[6] Abdul Adzim dalam buku Ulama Tanah Haram: Kiprah Ulama Nusantara di Tanah Suci juga menyebutkan kitab-kitab ulama-ulama di atas.
Menariknya, dari sekian banyak ulama nusantara yang pernah menjadi guru dan imam, dan khotib di Masjidilharam Makkah Al-Mukkaramah ber-teologi Al-Syairiyah dan bermadzhab Syafiiyah. Ini terlihat dari biografi-biografi mereka, seperti; Imam Nawawi Al-Bantani, Al-Jawi, Al-Syafii Al-Madzhab, Al-Asyaary Al-I’tiqod.[7] Begitu juga dengan ulama-ulama lainya, selalu disebutkan nama madzhabnya.
Buya Hamka mengatakan:’’bahasa apakah bahasa umum bahasa yang dipakai waktu itu, sebagai bahasa agama, bahasa kebudayaan, bahasa ilmu pengetahuan? Apakah bahasa Malabar atau Koromandil atau Hindustan atau Persia? Orang mesti menjawab dengan terus terang ialah bahasa Arab. Madzhab apakah yang tersebar sejak semula? Ialah madzhab Syafii.[8] Ibn Batuthah, Syekh Zainal Arifin Abbas juga mengatakan apa  yang dikatakan Hamka terkait dengan madzhabnya ulama nusantara.
Apalagi, karya-karya ulama nusantara, mulai kitab akidah, fikih, tasawuf, tidak lepas dari menyebutkan sumber-sumbernya. Kesemuanya membahas tentang madzhab Syafii. Tidaklah berlebihan, jika KH Ahmad Dahlan kemudian ber-teologi Al-Syaairah dan Syafii madzhabnya, sebagaimana dijelaskan oleh Syafii Maarif, dan juga terlihat dari tulisan tangan (fikih KH Ahmad Dahlan). Bahkan, kitab-kitab Putusan Madjlis Tarjih Muhammadiyah juga dengan gamblang dan ceto welo-welo kalau KH Ahmad Dahlan itu menganut madzhab fikihnya Imam Syafii.
Dalam tulisan ini, penulis tidak menydutkan Muhammadiyah, apalagi menyalahkannya. Tulisan ini hanya ingin menyebutkan berdasarkan data tentang teologi dan madzhab KH Ahmad Dalam. Selanjutnya, para pembaca bisa menilai dan merenungkan kembali, jika masih belum menerimanya, para pembaca bisa menelusuri kembali data-data yang disebutkan oleh penulis.
Selanjutnya, jangan sampai Akidah dan Madzhab KH Ahmad Dahlan, serta tradisi-tradisi yang dilakukan KH Ahmad Dahlan, seperti; Tahlilan, dan membaca mauld Nabi, membaca wirid keras, Qunut Subuh dikatakan bidah dhalalah (tersesat), dengan justifikasi bahwa semua bidah itu tertolak dan masuk neraka. Dengan begitu, secara tidak langsung gagasan-gagasan KH Ahmad Dahlan, serta amal ibadahnya tidak diterima, serta menjadi ahli neraka karena melestarikan bidah.
Agar lebih yakin dan mantab, berikut akan di kutip kembali ringkasan dari “Kitab Fiqih Muhammadiyyah ” , diterbitkan penerbit Muhammadiyyah Bagian Taman Poestaka Jogjakarta, jilid III, diterbitkan tahun 1343 H/1925 M , dimana hal ini membuktikan bahwa amaliah KH Ahmad Dahlan dan masyarakat Indonesia pada umumnya tidak berbeda:

1-      Melafadkan Niat Sholat.
Di dalam kitab fikih Al-Syafii yang di tulisa oleh Abu Sujak ‘’Hasiyah Al-Bujairami’’ sang penulis menjelaskan ‘’yustahabbu Al-Yatalaffadho fi Al-Niayat’’ yang artinya (di anjurkan untuk melafadkan niat sholat). Begitu juga Syekh Al-Syairozi dalam kitab Al-Muhaddab beliau mengatakan:’’ jika niat dengan hatinya, tanpa lisanya tidak apa-apa, dan dari sebagain sahabat-sahabat kami, dia mengatakan:’’hendaknya niat dengan hati dan melafazdkan dengan lisan juga tidak apa-apa’’.[9]
Sebenarnya  tidak ada tuntunan lansgung dari Rosulullah SAW untuk melafadzkan niat dengan lisan di dalam niat. Juga tidak ada satupun hadis, atau ayat Al-Quran yang melarangnya. Mengucapkan (melafadzkan niat dengan lisan sebelum takbiratul ihram itu dikiaskan dengan niat puasa, juga niat dalam ibadah haji. Oleh karena itulah, ulama fikih yang bermadzhab Syafii membolehkan melafadzkan niat tersebut.
Melafazdkan niat dengan lisan sebelum takbiratul ihram, seperti membaca “Ushalli fardla dzuhri arba’a raka’atin mustaqbilal kiblati ada’an lillahi ta’ala” (Saya berniat melakukan shalat fardlu dzuhur empat rakaat dengan menghadap kiblat dan tepat pada waktunya semata-mata karena Allah SWT) pada menjelang takbiratul ihram dalam shalat dzuhur adalah sesuatu yang sudah menjadi kebiasaan di kalangan warga NU (nahdliyin), juga oleh KH Ahmad Dahlan (Muhammadiyah) sebelum berdirinya Masjis Tarjih.
Bagi sebagian warga Muhammadiyah sekarang,  melafadzkan niat dengan lisan di anggap aneh, asing, bahkan menjadi sesuatu yang bisa membayakan  sholat. Alasanya, itu tidak ada dalilnya dari Al-Quran dan sunnah Rosulullah SAW. Dengan kata lain, hukumnya adalah bidah, dan bidah itu menurut mereka adalah tersesat dan masuk neraka.
Padahal, cukup banyak kitab fikih yang menjelaskan bahwa hukum melafdzalkan niat shalat pada saat menjelang takbiratul ihram itu dibolehkan. Bahkan  para pengikut mazhab Imam Syafi’i (Syafi’iyah), seperti; Abu Ishak Al-Syairozi dalam kitab Al-Muhaddab, Imam Nawawi dalam kitab Al-Majmu’, Al-Bujairami.  Pengikut madzhab Imam Ahmad bin Hambal (Hanabilah) juga berpendapat bahwa melalafazkan dengan lisan sebelum takbiratul ihram itu sunnah. Alasanya, melafadzlkan niat sebelum takbir dapat membantu untuk mengingatkan hati sehingga membuat seseorang lebih khusyu’ dalam melaksanakan shalatnya.
Masih terkait dengan melafadzkan niat, Imam Romli mengatakan:’’disunnahkan melafalkan niat menjelang takbir (shalat) agar mulut dapat membantu (kekhusyu’-an) hati, agar terhindar dari gangguan hati dank arena menghindar dari perbedaan pendapat yang mewajibkan melafadzkan niat”. (Nihayatul Muhtaj, juz I,: 437).
Menurut pengikut madzhab Imam Malik (Malikiyah) dan pengikut Imam Abu Hanifah (Hanafiyah) bahwa melafadzkan niat shalat sebelum takbiratul ihram tidak disyari’atkan kecuali bagi orang yang terkena penyakit was-was (peragu terhadap niatnya sendiri). Menurut penjelasan Malikiyah, bahwa meladzkan niat shalat sebelum takbir menyalahi keutamaan (khilaful aula), tetapi bagi orang yang terkena penyakit was-was hukum melafadzkan niat sebelum shalat adalah sunnah.
Melafadzlkan niat dalam suatu ibadah wajib, juga pernah dilakukan oleh Rasulullah SAW dan juga pada puasa Ramadhan. Karena sholat itu juga wajib hukumnya, maka para ulama fikih meng-qiyaskan bahwa melafadzkan niat itu juga boleh, tidak dilarang, bahkan diajurkan.
عَنْ أَنَسٍ رَضِيَ الله عَنْهُ قَالَ سَمِعْتُ رَسُوْلَ اللهِ صَلَّى الله علَيْهِ وَسَلمَ يَقُوْلُ لَبَّيْكَ عُمْرَةً وَحَجًّاً  (رواه مسلم)
“Dari Anas r.a. berkata: Saya mendengar Rasullah saw mengucapkan, “Labbaika, aku sengaja mengerjakan umrah dan haji”.” (HR. Muslim).
Memang ketika Nabi Muhammad SAW melafadzlkan niat itu dalam menjalankan ibadah haji. Tetapi tidak berarti selain haji tidak dibolehkan, atau tidak bisa diqiyaskan (dianalogikan) sama sekali atau bahkan ditutup sama sekali untuk melafadzlkan niat. Jika diteliti dengan baik, tidak ditemukan satu hadis, atau Al-Quran yang melarang melafadzkan niat. Kalaupun ada yang melarang bahkan membidahkan (menyesatakan), kemudian menhukumi masuk neraka, dengan alasan Rosulullah SAW itu tidak pernah melakukan, maka alasan ini sama dengan memaksakan dalil yang tidak sesuai dengan tempatnya.
Memaksakan dalil yang tidak pada tempatnya, bisa di artikan bidah juga karena Rosulullah SAW dan para sahabat juga tidak pernah melakukanya. Apalagi pengertian bidah itu hanya diartikan hanya merujuk pada semua yang tidak pernah diucapan, dilakukan, tidak dapat persetjuan Rosulullah SAW. Dengan demikian, apa-pun yang tidak pernah dilakukan, perintah, ucapan Nabi SAW termasuk bidah (tersesat).
Terkait dengan masalah niat, para ulama fiqh berpendapat terkait dengan diwajibkan niat pada setiap ibadah, baik itu ibadah mahdhad atau ghoiru mahdhah. Rosulullah SAW mengatakan:’’sesungguhnya amal perbuatan itu harus dengan niat (HR Bukhori). Sedangkan tempatnya niat itu di dalam hati, dan melafazdkan dengan lisan itu dianjurkan, bagi ibadah haji itu diwajibkan.
Para ulama fikih juga berpendapat terkait dengan melafadzkan niat dengan lisan itu ada dua perkara. (1) Uuntuk membedakan antara ibadah dengan kebiasaan (adat), seperti membedakan orang yang beri’tikaf di masjid dengan orang yang beristirah di masjid. (2)untuk membedakan antara suatu ibadah dengan ibadah lainnya, seperti membedakan antara shalat Dzuhur dan shalat ‘Ashar. Sedangkan hukum melafalkan niat adalah sunnah. Artinya, jika dilaksanakan mendapatkan pahala, jika tidak dilakukan (ditingglakan) tidak apa-apa. Imam Ramli mengatakan:
Dalam hal ini, KH Ahmad Dahan serta ulama-ulama semasanya bukanlah sekedar ulama, beliau benar-benara memahami agama dan cabang-cabangnya dengan baik. Al-Quran, hadis merupakan sandaranya utama KH Ahmad Dahlan. Apalagi, Rodhi Al-Hafidz dalam artikelnya menulis bahwa tarjih merupakan suatu pendekatan dalam pemberian fatwa terhadap masalah-masalah yang berhubungan erat dengan akidah Islamiyah, Ibadah dan Muamalah. Persolan terkait dengan masalah waqiiyah dalam masyarakat, khususnya yang menjadi persoalan umat, perlu di telusuri hinga ke-akar-akarnya berdasarkan sumber rabbaniyahnya.
Upaya tersebut tentu saja dilakukan dengan merujuk langsung kepada ayat-ayat Al-quran dan Al-Sunnah. Ulumul Quran dan tafsir, ulumu Al-Hadis dan Syarah, fikih dan usul fikih, sejarah Rosul dan sahabat-sahabatnya, usuluddin dan tasawwuf, serta bahasa Arab dan cabang-cabangnya, merupakan ilmu-ilmu agama islam yang dijadikan sebagai pedoman Majlis Tarjih dalam memberikan fatwa terhadap persoalan umat.[10]
Pernyataan Rhodi Al-Hafid itu sekaligus mempertegas bahwa melafadzkan niat sebelum takbiratul ihram itu berdasarkan pendapat ulama fikih yang bisa diterima (dibolehkan), bukan bidah yang tersesat. Ulama-ulama yang diikuti pendapatnya oleh KH Ahmad Dahlan juga bukan ulama-ulama biasa melainkan ulama yang berkualitas dari segi ilmu, ibadah, zuhud, serta kedalaman dan ketajaman spritualnya. Apalagi, ulama yang dijadikan rujukan utama dalam masalah fikih adalah Imam Syafii, Imam Malik, Ibn Hambal, Imam Nawawi, Al-Syairozi. Jadi, niat melafadzkan niat sebelum takbiratul ihram dengan mengucapkan lafadz: “Ushalli Fardhu’’ dalam fikih KH Ahmad Dahlan bukan bidah (tersesat), karena dikiaskan (dianalogikan) dengan Ibadah haji dan puasa. ” (halaman 25).
Jika Muhammadiyah saat ini mengecam dengan memberikan hukum ‘’bidah’’ dengan artian sesat (masuk nereka) bagi orang yang melafadzkan niat sebelum takbiratul ihram, maka KH Ahmad Dahlan termasuk ahli bidah  yang tidak layak dijadikan panutan. Juga semua gagasan, fikiran, serta karyanya tidak bisa dijadikan rujukan oleh pengikut Muhammadiyah. Jika tetap mengunakannya, maka itu di ibaratkan menggunakan gagasan ahli neraka (bidah). Untuk itulah, Imam Syafii berbendapat bahwa bidah itu dibagi menjadi dua, bidah hasanah (positif) dan bidah sayyiah (negative).
Tidak ada satupun keterangan dari Al-Quran atau yang bersumber dari Rosulullah SAW, kalau bidah itu hanya dikhususkan pada masalah agama saja, sementara dalam urusan muamalah itu tidak bidah. Kalaupun ada yang berpendapat begitu, sesungguhnya itu sebuah pendapat yang sifatnya juga mengada-ngada (bidah), dengan tujuan agar apa yang dilakukan terkait dengan muamalahnya tidak dikatakan bidah.

2-      Membaca surat al-Fatihah memakai bacaan: “Bismillahirrahmanirrahim” (halaman 2).
Salah satu perbedaan yang menonjol antara Muhammadiyah dan Nahdhotul Ulama yaitu membaca surat Al-Fatihah dengan basmallah secara jahran (keras) dan samar. Perbedaan itu sekaligus menjadi pembeda antara dua ormas besar di negeri ini. Jauh sebelum munculnya Majlis Tarjih, KH Ahmad Dahlan dan ulama-ulama semasanya ketika sholat fardu terbiasa melafadzkan niat sebelum takbiratul ihram dan juga membaca basmalah dengan keras (jahr).
Di dalam kitab fikih KH Ahmad Dahlan, beliau juga menyebutkan dengan jelas bahwa membaca surat Al-Fatihah dengan membaca Bismillahirahmanirahim. Dalam kitab tafsir Rowaiu Al-Bayan, Syekh Muhammad Ali Al-Shobuni berpendapat bahwa bismillah itu bagian dari surat Al-Fatihah yang harus dibaca secaara keras. Oleh karena itulah cara membacanya juga harus keras. Dibelahan Negara-negara islam, khususnya pengikut madzhab Syafii selalu membaca basmallah dengan keras.
Sedangkan di Arab Saudi yang mengikuti madzhab Hambali juga membaca basmallah, tetapi dengan sura tidak keras (samar).  Syekah Sholih Ibn Humaid, Imama dan Khotib Masjidilharam ketika menjadi Imam Sholat subuh selalu membaca basmalah dengan samar, tetapi semua jamaahnya mendengar suara basmalah itu. Ini menjadi sebuah bukti bahwa membaca Basmalah bagian dari surat Al-Fatihah.
Ditulis oleh : Ustadz  Abdul Adzim Irsad


[1] . KH Muhyidin Abdussomad. 2008. Hujjah NU: Akidah, Amaliyah, Tradisi (KAJI-Manteb)   Hlm 47
[2] . HR Bukhori dan Muslim.
[3] . KH  Abdul Muhith Muzaddi.2006. NU Dalam Perspektif Sejarah dan Ajaran ( Khalista- Surabaya) Hlm 126
[4] . KH Ahcmad Siddiq. 2006. Khittah Nahdliyah (Khalista-Surabaya) Hlm 48
[5] .  Dr. Azyumardi Azra. 2006. Renaisans Islam Asia Tenggara (PT. Rosda Karya-Bandung) hlm 149
[6] . Abdul Adzim Irsad. 2013. Ulama Tanah Haram: Kiprah Ulama Nusantara di Tanah Suci (Indie- Malang).
[7] . Imam Nawawi Al-Bantani Al-Jawi. 2011. Tanqikhu al-Qoul Al-Khasis fi Sarhi Lubabi Al-Hadis (Darul Qutub Al-Islamiyah)  hlm 6
[8] .KH Siradjuddin Abbas. 2005. 40 Masalah Agama, jilid 2 (Pustaka Tarbiyah-Jakarta) hlm 2006
[9] .Syekh Abu Ishak Al-Syairozai. 1995. Al-Muhaddab fi Fiqhi Al-Imam Syafii (Darul Qutub Ilmiyah-Beirut)  hlm 1/134
[10] . Prof.Dr.Hj. Siti Chamamah Soeratno, et,al.2009. Muhammadiyah: Sebagai Gerakan Seni dan Budaya Suatu Warisan Intelektual yang Terlupakan (Pustaka Pelajar- Jokjakarta) hlm 31
Catatan: Sumber Kitab Fikih jilid 3 KH Ahmad Dahlan, dan Putusan Madjlis Tardjih Muhammadiyah 1969

No comments:

Post a Comment